Sunday 21 July 2013

SURAT UNTUK BUNG HATTA

Assalamualaikum.wr.wb.
Bung, kami berharap engkau bersama para pendiri bangsa tenang di alam sekarang. Semoga Allah mengampuni segala dosamu, dan memberi balasan atas setiap perjuangan, pengabdian dan keikhlasanmu. 

Kau tak pernah meninggalkan bangsa ini. Kau tentu sangat sedih melihat berbagai peristiwa di Tanah Air yang kau cintai. Korupsi yang merajalela dan hampir meruntuhkan bangsa ini. Perbuatan yang sangat kau tentang dan sangat kau kutuk melalui tulisan dan lelakumu, dulu.

Bung, beberapa minggu silam, di Papua, terjadi peristiwa tragis yang merenggut pekerja di perusahaan Freeport. Anak bangsa yang harus menjadi kuli bangsa asing. Kekayaan tanah air kita dikeruk bagi kesejahteraan bangsa lain. Kami tak tahu harus memulai perubahan dari mana. Di sana, OPM juga masih ada, dan terus menginternasionalisasi persoalan internal bangsa ini. Kau tentu masih ingat, di tanah subur nan kaya yang kini menjadi “milik” perusahaan asing itu, kau sepuluh bulan terpenjara di Boeven Digoel, Gulag-nya Hindia Belanda. Aku ngeri membaca buku Chalid Salim, "Sepuluh Tahun Digoel", yang bercerita tentang suasana “neraka” itu; kebosanan, ketidaktahuan, dan ketidakpastian. Masa depan gelap.

Tapi Bung, di tempat udik yang pernah disebut “neraka dunia” itu, kau menghancurkan kebosanan dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat dalam sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar Pemandangan sebulan sekali. Ah, kau benar-benar memegang erat prinsipmu, “di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira”. Kau memang tangguh, Bung!
Kau adalah orang pusat yang gelisah bila daerah bergolak. Bung terus gelisah bukan terhadap perpecahan suatu bangsa, tetapi karena kesatuan yang dicita-citakan akan menjadi kesatuan berdarah yang menyiksa sepanjang masa. Kita bersedih Bung!

Kau pernah berpendapat, “penyelesaian pusat terhadap persoalan daerah hanya akan menghasikan kebersatuan yang tidak memberi peluang tumbuhnya kekuatan lokal yang justru diperlukan oleh suatu negara kesatuan”. Dan, sebagaimana kritik yang pernah kau lontarkan, kekuatan bukan terletak dalam keseragaman, sebab kau menyebut persatuan yang demikian sebagai “persatean”. Benar Bung, hanya dengan menumbuhkan keragaman suatu bangsa bisa mekar dengan kuat. Kau—kata Daniel Dakhidae--adalah adalah orang daerah yang berdiri kukuh di pusat.

Aku sadar, pandangan dan cita-citamu tentang negara bangsa yang bersatu telah terpatri lama. Dalam rapat Indonesche Vereegining, 8 Februari 1925, kau bersama beberapa teman menentukan nama tanah air ini “Indonesia”, bukan “Hindia Belanda”. Saat itu, usiamu belum matang, tapi kau telah menanamkan benih kemerdekaan bagi anak cucumu kelak.

Aku tahu Bung, kau adalah pribadi kompleks penuh paradoks. Kau berjiwa pemberontak, tapi berpenampilan kalem. Saat menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, politik “non-kooperasi” justru kau tikamkan di jantung kolonialisme itu sendiri. Kau berpikiran revolusioner, namun asketis. Tak minum alkohol, tak tertarik dansa-dansi, apalagi foya-foya. Benar-benar pribadi unik dan menarik.

Kau adalah politisi yang santun. Bagimu, satu musuh terlalu banyak, dan seratus teman terlalu sedikit. Aku tak heran, meski kau berbeda pandangan dan ideologi dengan teman seperjuangan, kau tetap menghargainya sebagai sahabat. Pada 1930-an, kau mengkritik gaya one man show Soekarno dan menyatakan pentingnya “menciptakan ribuan, bahkan jutaan Soekarno” lewat pendidikan politik yang luas, bukan dengan penggalangan massa.

Yang luar biasa adalah keteguhanmu memegang prinsip. Saat melihat pemerintahan yang tidak beres, kau menyampaikan saran dan kritik kepada Presiden Soekarno. Sayang, gayung tak bersambut. Kau memilih mengundurkan diri sebagai wapres pada 20 Juli 1956. Rakyat sedih karena dwitunggal telah menjadi dwitanggal. Hebatnya, persaudaraanmu dengan Soekarno tak pernah luntur.

Sebagai negarawan dan salah satu bidan yang membantu kelahiran republik ini, kau tetap kritis meski dipinggirkan secara politik oleh Orde Baru. Tatkala kau mengutip istilah Julien Benda, “penghianatan intelektual”, kau telah menghujamkan pisau ke dua arah sekaligus; kepada rezim totaliter militeristik, dan pada para intelektual yang menghamba padanya. Aku sadar, kau juga intelektual yang melahirkan dan mengembangkan pemikiran politik, ekonomi, dan sosial yang orisinil, berbobot, dan brilian. Wajar jika kau tak mau dibungkam oleh siapapun.

Guruku pernah berkisah, tunjangan pensiunmu tak cukup untuk menghidupi keluarga. Deliar Noer, dalam biografi politikmu menulis, dalam kondisi terpepet seperti itu, kau dengan tegas menolak tawaran menjadi komisaris beberapa perusahaan. “Apa kata rakyat nanti!” demikian penegasanmu. Betul kata Mavis Rose, penulis biografi politikmu, bahwa kau adalah negarawan kaliber tertinggi, yang siap mengorbankan ambisi, kekayaan, dan kedudukan demi cita-citamu. Tentunya kau miris melihat kondisi elit politik saat ini, bukan?

Bung, dalam akhir risalah Demokrasi Kita, kau mengutip kalimat penyair Jerman, Schiller : “Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil.” Meski kalimat itu kau kutip untuk menyindir pada pemimpin partai politik saat itu, agaknya masih berlaku untuk Indonesia saat ini.
***
Kau memang jauh dari kesan flamboyan, sebab kau gemar kata-kata Multatuli, onhoorbar groeit de padi, “tak terdengar tumbuhlah padi”. Wajar jika kau terkesan dingin, serius, dan tak suka humor. Padahal, kau pria romantis dan sayang keluarga. Bolehkah aku mencatat secara khusus peristiwa di bawah ini?

Di Villa Megamendung Bandung, 18 November 1945, sejarah mencatat peristiwa penuh kejutan itu. Kau, yang telah berusia 43 tahun memberikan buku karyamu; Alam Pikiran Yunani, sebagai mas kawin kepada Rachmi Rachim, gadis jelita itu. Ah, kau memang penulis romantis yang pernah bersumpah tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, sebagai kutu buku pecinta ilmu, tiga puluh ribu judul buku di perpustakaan pribadimu telah menjadi warisan berharga bagi kami.

Maka, melalui surat ini, aku ingin mengenalmu sebagai sosok yang jujur dan disiplin, muslim yang saleh, agamawan yang demokrat, dan ekonom yang berideologi kerakyatan, serta pemimpin yang santun, ikhlas dan memegang amanah. Dan, kau tahu bung, hatiku selalu tergetar mendengar suara Iwan Fals yang mengenangmu melalui lagu ritmis sesuai nama masyhurmu yang merakyat, Bung Hatta!

Maaf Bung, aku tak berniat menyanjungmu. Aku tak ingin memitoskanmu. Aku hanya ingin semangatmu tetap ada untuk membangun bangsa ini. Dan, aku hanya ingin memenuhi tantangan penyair asal Padang, “Tulislah sesuatu yang kau ketahui tentang Bung Hatta. Dia orang besar dan hidupnya seperti buku yang tak pernah tamat dibaca”. Kami selalu merindukanmu, wahai Mohammad Hatta!

Wassalam.

Rijal Mumazziq Z

(Pengagum dirimu)

No comments:

Post a Comment

terimakasih komentarnya,, disarankan komentar sopan, dan setiap komentar ditanggung sendiri-sendiri