Wednesday, 16 October 2013
APA YANG DIPIKIR BILA BERTEMU ORANG INI
Thursday, 12 September 2013
SIAPA YANG KAFIR?
Bismillah
Murid (Salik): “Bagaimana pendapat Guru tentang Kafir?”
Syaikh (Guru): “Yang kafir biarlah kafir karena memang ia sedang tidak mampu untuk menjadi Mukmin. Dan dia khawatir apabila orang lain menyebutnya kafir.”
Murid: “Bagimana pendapat Guru tentang Mukmin?”
Syaikh: “Seorang mukmin sibuk mengurusi kekurangan dirinya sendiri, jangan-jangan dirinya sendiri masih kafir. Dan dia khawatir apabila orang lain menyebutnya Mukmin.”
Murid: “Bagaimana tindakan seorang Mukmin apabila bertemu dengan kafir?”
Syaikh: “Menjaga orang kafir agar tidak merasa terganggu oleh kemukminannya.”
Murid: “Bagimana apabila seorang Mukmin mengganggu kafir?”
Syaikh: “Jangankan mukmin mengganggu, seorang mukmin tidak pernah merasa terganggu apabila ia diganggu meskipun senantiasa dianggap mengganggu. Apabila ada mukmin yang mengganggu kafir maka mereka sama saja. Apabila menemukan kerusakan akibat ulah orang kafir, maka ia membenahinya tanpa keluh kesah dan kerisauan. Sebab orang yang kafir bisa saja menjadi mukmin sesudah ia kafir, dan seorang mukmin bisa berubah menjadi kafir setelah ia beriman. Maka berhati-hatilah ketika kau masih memiliki nikmat iman. Bersyukurlah dalam bentuk apapun.”
Murid: “Lantas kenapa terjadi pertikaian di antara keduanya?”
Syaikh: “Kafir dan Mukmin adalah warna manusia. Seperti wayang simpingan kanan dan kiri dalam pakeliran dunia. Di tengahnya adalah ajang pertemuan. Kafir dan Mukmin sangat akrab, mudah berdamai dalam jalan masing-masing. Namun apabila muncul di antaranya kaum Munafik maka semuanya akan saling menghancurkan.”
Murid: “Dari pelajaran di atas, apa yang harus kami perbuat Guru”
Syaikh: “Jagalah telunjukmu, hanya karena Allah. Bunuhlah “Kemunafikan” dari diri kalian sendiri terlebih dahulu sebelum ia menjelma menjadi Tuhan yang kau sembah tanpa kau sadari kau telah kafir karenanya. Apabila kemunafikan telah tunduk tidak ada orang kafir yang berani mengusikmu kecuali datang dalam keadaan mukmin.”
Saya dan Anda hanyalah Mahluk Tak Sempurna
#Syifak_Muzaky
Friday, 28 December 2012
INSAFNYA PENGINGKAR KITAB IHYA ULUMIDDIN
Syaikh Abdullah bin As’ad Al-Yafi’i bercerita, bahwah Syaikh Abul Hasan Ali bin
Harzahim Al-Faqih Al-
Maghrobi, adalah orang yang
sangat di dengar dan
di patuhi kata-katanya oleh banyak orang kala itu, dan Ia
adalah juga orang yang sangat mengingkari kitab
Ihya’ Ulumiddin.
Pada suatu saat Ia memerintahkan
masyarakat agar mencari dan mengumpulkan naskah-naskah kitab Ihya’, Ia bermaksud membakarnya di
Masjid Jami’ pada hari Jum’at di saat orang-orang berkumpul guna menjalankan ibadah sholat
Jum’at.
Akan tetapi pada malam jum’atnya, Ia bermimpi masuk kedalam masjid jami’
dan mandapati Nabi
Muhammad saw, Abu Bakar ra dan Umar bin Khotthob ra
sedang duduk-duduk disitu,
sementara Imam Ghozali sedang berdiri dihadapan
Nabi Muhammad saw. Ketika
Al-Faqih As-Syaikh Abul Hasan Ali bin Harzahim Al-
Maghrabi masuk kedalam masjid, Imam Ghozali berkata
kepada Nabi Muhammad
saw:
“Itulah orang yang
memusuhiku wahai
Rasulullah, Jika yang benar adalah seperti apa yang Ia yakini, maka aku akan
bertaubat kepada Allah saw.
Tetapi jika tenyata apa yang aku tulis adalah yang benar,
berkat barokah dan karena
mengikuti sunnahmu, maka ambilkan hakku untukku dari
musuhku”.
Mendengar laporan Imam Ghozali, Nabi Muhammad saw lantas mengambil kitab Ihya’ dan membukanya
selembar demi selembar dari
awal hingga akhir, lalu Nabi
Muhammad saw berkata:
“Demi Allah sesungguhnya
kitab ini adalah sesuatu yang
bagus”.
Kemudian Abu Bakar
ra pun mengambil dan memandanginya selembar- demi selembar, demikian
juga Umar bin Khotthob ra,
keduanya sama-sama
menyatakan kesalutan dan simpatinya terhadap kitab
ihya’ yang mereka anggap bagus.
Setelah menyimak dan mentela’ah isi kandungan
kitab Ihya’ Ulumiddin Nabi Muhammad lalu memutuskan
untuk menghukum cambuk
Al-Faqih As-Syaikh Abul Hasan Ali bin Harzahim Al-
Maghrabi karena
kebohongannya. Tetapi baru sampai pada cambukan yang
kelima, Abu Bakar ra
bermaksud menolongnya
dengan berbicara kepada Nabi Muhammad saw:,
“Ya Rasulullah,
mungkin saja ia
menganggap bahwa isi kandungan kitab Ihya’menyalahi sunnahmu, tetapi
ternyata ia keliru”.
Rasulullah Saw
menyerahkan seluruhnya
kepada Imam Ghozali, dan Imam Ghozali pun menerima usulan yang dikemukakan
oleh Abu Bakar, juga sudi memaafkan kesalahan Ibnu
Harzahim Al-Maghrabi.
Sampai disini Ibnu Harzahim
terbangun dari tidurnya dan
mendapatkan adanya bekas cambukan dipunggungnya.
Kemudian ia
memberitahukan hal ini
kepada pengikut-
pengikutnya dan
menyatakan bertaubat kepada Allah atas
kekeliruannya juga meminta maaf kepada Imam Ghozali.
Hari demi hari berlalu, tetapi
nyeri bekas cambukan itu masih saja di rasakannya,
akhirnya ia putuskan untuk lebih mendekatkan diri dan
lebih menghibah lagi kepada Allah saw serta meminta
pertolongan Allah swt
dengan lantaran Nabi
Muhammad saw, sampai akhirnya ia kembali memimpikan Nabi saw
mendatanginya lalu
mengusapkan tangan beliau yang mulya kepunggungnya,
lantas sembuhlah
punggungnya atas izin Allah swt.
Setelah kejadian ini, Ibnu Harzahim terus menerus mengkaji kitab Ihya’ Ulumiddin, sehingga Allah
swt membuka hatinya,
menjadikannya orang yang ma’rifat billah dan menjadi
salah seorang dari akaabirul masyaayikh dalam bidang
ilmu dzohir dan ilmu bathin.
Semoga Allah swt
memberinya rahmat.
Syaikh Abdullah bin As’ad Al- Yafi’i Sang perowi cerita ini
berkata:
“Cerita ini saya
dapat dengan sanad yang shohih, dari waliyullah ke
waliyullah, yaitu dari Asy-Syaikhul kabir Al-Quthb Syihabuddin Ahmad bin Al-
Milaq Asy-Syadzili dari
gurunya Asy-Syaikhul kabir Al-‘Arif billah Yaqut Asy-Syadzili dari gurunya Asy-
Syaikhul kabir Al-‘Arif billah Abil ‘Abbas Al-Mursi dari
Syaikhus Syuyukh Abil Hasan Asy-Syadzili, yaitu seorang
waliyullah yang semasa dengan Ibnu Harzahim. Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili berkata:
“Dan sewaktu Ibnu
Harzahim rahimahullah
meninggal dunia, bekas cambukan itu masih tampak
jelas dipunggungnya”.
Sumber cerita, Kitab Ta’riful Ahya’ Bifadlooilil Ihya’ lisy
Syaikh Al-Allamah Abdul Qodir bin Syaikh bin Abdullah
Al-Idrus yang wafat pada tahun 1038 H.
Sumber : http://
www. kang mahfudz.co.cc
Kisah Kewafatan al Habib 'Abdul Qadir bin 'Abdurrahman Assegaf (Ayahanda al Habib Syech bin 'Abdul Qadir Assegaf, Solo)
Shaf pertama penuh berdesak-desakan.
Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf mengisyaratkan kepada Habib Najib bin Thoha Assegaf agar maju ke shaf pertama di belakang beliau.
Melihat shaf pertama yang telah penuh berdesak-desakkan itu Habib Najib bin Thoha berkata, "Shaf pertama telah penuh, wahai Habib."
Mendengar jawaban itu Habib Abdul Qadir menjawab dengan penuh kewibawaan, "Wahai anakku, majulah, kau tak mengetahui maksudku!"
Jawaban itu menjadikan Habib Najib bin Thoha spontan maju ke shaf pertama, walaupun harus memaksakan diri mendesak shaf yang telah penuh itu. "Allaahu akbar".
Shalat jumat mulai didirikan. Habib Abdul Qadir membaca surat al-Fatihah, lalu membaca surat setelahnya dalam keadaan menangis.Di rakaat kedua pada sujud terakhir, beliau tak kunjung bangkit dari sujudnya. Suara nafasnya terdengar dari speaker masjid.
Karena sujud itu sudah sangat lama, maka Habib Najib bin Thoha memberanikan diri untuk menggantikan beliau. "Allaahu akbar", Ucapan salam untuk mengakhiri shalat diucapkan. Para jamaah berhamburan lari ke depan ingin mengetahui apa yang terjadi pada habib Abdul Qadir.
Saat itu mereka mendapati Habib Abdul Qadir tetap dalam keadaan sujud tak bergerak. Lalu tubuh yang bersujud itu dibalik oleh para jamaah, dan terlihatlah wajah Habib Abdul Qadir.
Maasya-Allaah, setiap orang yang melihat wajah beliau, menitikkan air mata. Bagaimana tidak menitikkan air mata? Mereka melihat wajah Habib Abdul Qadir tersenyum dengan jelas sekali. Tersenyum bahagia. Habib Abdul Qadir wafat dalam keadaan menikmati amal yang terindah.
Di saat melakukan ibadah yang teragung yaitu shalat. Mendirikan shalat itu dalam kondisi yang terutama, yaitu shalat berjamaah. Melakukan shalat yang bermuatan besar, yaitu shalat jumat. Pada saat melaksanakan rukun shalat yang terutama, yaitu sujud. Dalam posisi yang terpenting, yaitu sebagai imam shalat jumat. Di tempat yang paling utama, yaitu masjid. Di hari yang paling utama, yaitu hari Jum'at.
dari Sayyidil Habib Husin Nabil