Friday 18 January 2013

Gus Yunus dan Gus Yusuf

Sebuah CERPEN yang diilhami dari kisah nyata.
Judul:.

Kelak kita akan berpisah, untuk mengenang persahabatan yang telah lama kita jalin selama di pondok, aku akan menggunakan nama pemberianmu dan kau menerima nama pemberianku sebagai nama anak kita kelak.” sumbar  Kyai Salak tiga puluh tahun lalu, tapi baru teringat kembali di ingatan Kyai Masyhuri belakangan ini, setelah baru dikaruniai anak pertamanya dari jalinan kasih sayang  dengan Bu Nyai Latifah selama 10 tahun.
Bayi mungil yang baru lahir tiga hari yang lalu itu terus dipandangi oleh Kyai Masyhuri, sampai ia tersenyum sendiri ketika melihat hidung mancung bayi laki-lakinya. “Bu, bayi ini kelak akan jadi anak luar biasa.” ucap kyai pada istrinya.
“Luar biasa gimana tho?” tanya Bu Nyai Latifah penasaran.
Ya, kayak mbahnya dulu,” sambil menggendong bayinya, lalu ia duduk di atas kursi yang biasa ia gunakan untuk menemui para tamunya.
“Nak, wajahmu benar-benar mirip mbahmu, pasti keistimewaanmu juga tak jauh darinya.” Suara ini masuk telinga kanan bayi yang masih belum punya nama itu, seakan-akan bayi itu mengerti dan paham omongan abahnya, Kyai Masyhuri.
“Amiiin.” Sahut Bu Nyai Latifah yang ada disampingnya. 
“Besok tanggal 12 Maret kita adakan acara Aqiqah dan walimah tasmiyah ya Bah?”  pinta bu nyai pada abah, nama panggilan yang sering dilontarkan untuk suaminya, Kyai Masyhuri.
Inggih, bu, tapi….” Perkataan kyai Masyhuri terputus dan ia langsung  meletakkan bayinya di kasur, tempat istirahat.
“Tapi kenapa Bah? Penasaran.
“Abah, tidak bisa menuruti permintaan sampeyan saat usia kandungan ibu genap 8 bulan lalu, ibu inginya nama anak kita kalau laki-laki, Harun, dan kalau perempuan, Aisyah.”
“Maksudnya gimana toh Bah, aku kok gak paham!” dengan nada agak kecewa bu nyai terus menunggu penjelasan suaminya.
“Abah tidak pernah cerita pada sampeyan, kalau dulu abah pernah punya teman akrab saat masih di pondok dan punya perjanjian.” ujar Kyai Masyhuri panjang lebar tentang masa lalunya.
Persahabatan saat Masyhuri kecil; masih di pesantren dulu penuh kenangan, hingga di mana saja kaki Masyhuri berpijak, disitulah Safak, teman karibnya ikut bersamanya. Persahabatanya sangatlah erat, hingga pada suatu hari, ketika Safak dan Masyhuri  sedang asyik menghafal nadlom Al Fiyah 1002 bait di kebun rumput gajah milik pengasuh yang sengaja ditanam di samping kandang sapi, di tempat penuh hijau daun yang bergoyang-goyang menanyikan bait-bait agung dan di bawah biru langit yang sangat bersahabat itulah Safak melingkarkan jari kelingkingnya pada jari Masyhuri. Safak berkata, “Aku sengaja mengucapkan janjiku ini tak lain untuk mengenang kehidupan kita pada 30 tahun ke depan, karena aku takut kalau kelak setelah kita keluar dari pondok  jalinan persahabatan kita putus karena jarak, maka hari ini aku akan memberikanmu nama, ‘YUNUS’ sebagai nama anakmu kelak.” ucapnya penuh yakin dan ia menatap wajah Masyhuri, “Nama apa yang akan kau berikan untuk anakku kelak? Tanya Safak sembari menutup sampul Al Fiyah Ibnu Malik. Tak lama, hanya hitungan detik Masyhuri menjawab. “YUSUF, itu pantas untuk nama anakmu kelak, sama-sama nama Nabi”. Tak lama setelah perjanjian di kebun bersejarah itu, sekitar 15 tahun kemudian dua santri ini lulus dan pulang ke kampung halaman.
Mendengar penjelasan suaminya, Bu Nyai Latifah manggut-manggut, “Dengan taat kepada suami, ibu setuju dengan permintaan abah kalau anak pertama kita Yunus, tapi ibu minta pada anak  kedua kelak,  nama pemberian Ibu; Harun atau Aisyah harus digunakan!”
Inggih Bu.” Jawab Kyai Masyhuri dengan tanpa ragu.
                                                                        ***
Lima belas tahun telah berlalu, Gus Yunus; sebutan akrab putra Kyai Masyhuri pengasuh pondok Al Yatama ini biasa dipanggil para santri-santri; anak-anak yatim pondok Al Yatama. Tak terasa kini Gus Yunus telah berusia 14 tahun, sesuai wasiat kakeknya, Mbah Masyhari. Kelak saat umur cucunya genap 14 tahun harus dimasukkan ke pondok, wasiat inilah yang disampaikan Mbah Masyhari kakek Gus Yunus kepada abahnya, Kyai Masyhuri, tepatnya satu bulan sebelum wafat. Wasiat kyai istimewa yang ada di kampung tempat pondok Al yatama berdiri. Diceritakan konon ketika kyai Masyhari tirakat, tak tanggung-tanggung, selain tidak makan lauk  yang bernyawa selama 5 tahun; makan tumbuh-tumbuhan, juga sering jalan kaki setiap menggunjungi makam-makam wali di seluruh penjuru tanah jawa, hanya ditemani alas kaki terbuat dari kayu. Klompen. Tak heran jika pendiri pondok Al Yatama ini punya keistimewaan luar biasa, sehingga tamu-tamunya tak pernah sepi untuk minta barokah doa dan amalan-amalan.
Suatu malam, di keheningan yang larut, tak ada mendung dan tak ada suara cericitan kelalawar yang biasanya sering mengusik penduduk sekitar dengan suaranya saat menyantap buah mangga depan rumah warga, sajadah bergambar masjid Nabawi terbentang, tiba-tiba suara mengejutkan.
 Tok, to, tok.” suara orang mengetuk pintu ndalem Kyai Masyhuri terdengar dari dalam.
“Siapa ya?, tunggu sebenta.r” ucap Bu Nyai Latifah dari dalam rumah; masih mengenakan mukena, beliaupun berjalan menuju pintu depan.
“Siapa ya, malam-malam begini ngetuk pintu.” Ujarnya sebelum membuka gagang pintu.
Tak ada orang yang ia lihat saat pintu terbuka, dia masuk kamar lagi dan meneruskan bermunajat di sepertiga malam, baru dapat dua puluh menit dia membaca amalanya setelah sholat malam usai, terdengar ketukan kedua kali dari luar, malah bunyinya lebih keras meskipun lebih sedikit ketukannya. Tak banyak pikir, Bu Nyai Latifahpun langsung menuju pintu sembari tanganya masih memegang wirid.
“Kriettt, suara pintu terbuka, Bu nyai Latifah celingukan melihat depan rumah, tak ada satu orangpun yang nampak, tapi sebelum menutup pintu, matanya Bu Nyai melihat 1 kardus Mie instan tergeletak di dekat pot bunga. Bu Nyai Latifah tidak habis pikir, dia langsung mengambil dan meletakkan kardus mie itu di dekat TV ruang tamu, dikira itu pemberian Haji Shabirin pemilik  toko Makmur depan rumah pak RT yang rutin bersedekah untuk santri-santri anak yatim yang tinggal di asrama pondok Al Yatama.
Malam itu Bu Nyai sendirian, Kyai Masyhuri sedang keluar kota memenuhi undangan. Tak lama, habis melanjutkan bacaan wiridnya, Bu Nyai tidur, menunggu adzan shubuh.
“As Sholatu khorun min annaum”, suara merdu inilah yang selalu membangunkan Bu Nyai dan keluarga ndalem Pondok Al Yatama, maklum suara emas ini milik Hamid, santri putra umur 12 tahun yang ditinggal mati bapak-ibunya saat mengais rizki di negeri tetangga.
Setelah usai wudlu, Bu Nyai menuju mushola untuk sholat shubuh berjamaah, shubuh ini Kang  Ilham yang menjadi badal Kyai Masyhuri.  Usai sholat, saat Kang Ilham berjalan menuju depan mushola, Bu Nyai Latifah memanggil kang Ilham, ketua keamanan pondok Al Yatama.
“Tadi malam, ada tamu yang masuk pondok?” tanya Bu Nyai dengan berdiri di depan para santri-santri putri yang masih memakai mukena merk Denisa.
Kirangan, ketingale mboten wonten.” jawab kang Ilham dengan logat jawa tengah yang kental sembari menggeleng kepala.
“Kok ada Mie di depan rumah?” tanyanya lagi pada pengurus tertua ini.
Kang Ilham kembali menggeleng, dan Bu Nyaipun langsung kundur ke ndalem.
                                                            ***
Kejadian aneh yang dialami Bu Nyai dua minggu yang lalu telah lewat. Baru saja beliau akan menanyakan kejadian aneh itu pada Kyai Masyhuri, suaminya. Tapi, terdengar suara membuyarkan niatnya, “Tok,tok,tok, Assalamualaikum.” salam itu terucap dari bibir orang yang tak asing bagi keluarga ndalem, Kang Saparun, pengurus Masjid As Salam yang tak jauh dari pondok Al Yatama.
Kedatangan tamu rutinan ini tak lain untuk mengundang Kyai Masyhuri untuk mengisi pengajian rutinan setiap malam kamis akhir bulan Rajab, “Kyai bisa hadir?” tanya Kang Saparun dengan nada seperti biasannya. Gagap.
Jawab kyai, “Insya Allah, habis dari Masjid As Salam, sampeyan bisa nemani saya ke Pondok Al Munir, sambang Yunus, sudah dua bulan tak kesana, katanya uangnya habis.” Jawab Kyai sekaligus mengajak Kang Saparun sambang putra satu-satunya.
            “Insya Allah, Kyai.” Jawab Kang Saparun.
Sesuai wasiat Mbah Masyhari, ketika genap 14 tahun Gus Yunus dipondokkan di pondok yang telah ditunjuk oleh mbahnya sendiri, pondok Al Munir yang berlokasi di jantung kota Muria.
Hari yang ditunggu datang, usai memberikan ceramah di Masjid As Salam, Kang Saparun ikut mobil kijang biru tua menuju pegunungan Muria, tempat Gus Yunus menimba ilmu.
Perjalanan dari kota tempat Kyai Masyhuri sampai pondok  Al Munir  sangatlah jauh, ditempuh waktu 1 hari untuk sampai sana.
Dalam setiap perjalanan, Bu Nyai yang ada di rumah tak habis-habis mengucapkan doa untuk suaminya yang sedang perjalanan jauh, karena jalan yang menanjak dan berlubang di areal gunung Muria. Saking capeknya, Bu nyai, akhirnya tertidur di sebelah ruang yang biasa ia gunakan menjahit. Tidurnya cukup nyenyak, maklum seharian penuh beliau mengurus keperluan anak-anak yatim. Ketika jarum jam berada di angka dua dini hari, ia terbangun karena terdengar suara, ketukan pintu.
Mungkin lupa akan jauhnya perjalanan suaminya untuk sampai pondok  Al Munir, karena belum sepenuhnya sadar, dia langsung menuju pintu, yang dikiranya Kyai Masyhuri, suaminya.
Ternyata kosong dan gelap. Tak ada orang yang tampak mata, iapun melihat kejadian seperti kejadian dua minggu yang lalu. Kembali matanya melihat mie instan di dekat pot bunga kamboja, aneh, jumlahnya tambah banyak, 5 tumpuk mie instan.
“Kang Ilham, kang Ilham, tolong kesini.” Panggil Bu Nyai
Tak lama kang Ilham datang, “ini mie siapa?”
Kang ilham tak berubah, sama seperti dua minggu yang lalu. Menggeleng kepala.
“Ya udah, pindah mie ini ke kantor pondok, besok kalau abah sudah datang, biar tak tanya aja.” usai menyuruh, beliaupun masuk rumah dan bergumam dalam hati. Aneh!, setiap abah tidak di rumah pasti ada yang mengantarkan mie tengah malam.
                                                                        ***
Mobil kijang biru berhenti persis depan gedung SMA  Al Munir, kyai Masyhuri langsung menuju asrama Yunus, sesampai asrama kyai Masyhuri masih menunggu di ruangan 3x4 m yang berdekatan dengan kamar putranya, waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB, semua santri masih belajar di sekolah. Tak lama kemudian.
Bel pulang sekolah berbunyi, tapi sosok anaknya belum kelihatan, satu persatu santri diamati oleh Kyai Masyhuri, tetap tidak dijumpai.
Kyai Masyhuri dan Kang Saparun langsung menuju gedung SMA Al Munir, mencari keberadaan Gus Yunus.
Satu persatu ruang kelas dilewati, tepat di ruang kelas yang berada di samping kantor, Kyai Masyhuri terkejut.
“Nak, bangun nak, bangun,” suara kyai membangunkan putranya yang nyenyak tidur di atas bangku, tanpa ragu Yunus langsung mencium tangan abahnya, meskipun dia masih belum sepenuhnya sadar.
Pemandangan ini tak aneh bagi Yunus, maklum tiap malam dia tak pernah tidur, keliling pondok dan begadang. Tak heran jika tiap waktunya belajar, dia tidur pulas di bangkunya. Qodlo’ tidur.
Seusai menyelipkan amplop di saku Gus Yunus, abahnya pamit pulang, tak banyak pesan yang disampaikan, hanya “ANAK SINGA HARUS JADI SINGA”. Cukup.
                                                                        ***

“Assalamualaikum,” ucap guru muda yang penuh inspirasi di ruang kelas 1 SMA. Al Munir
Serempak siswa-siswi menjawab dengan semangat. Waalaikumsalam”.
Seperti biasa, hanya satu siswa yang tak menjawab, Yunus.
Yunus dan Yusuf memang putra seorang Kyai;Gus. Tapi teman-temanya tak ada yang tahu sosok di balik layar seorang Yunus dan Yusuf, hanya Laila yang tahu. Seorang gadis cantik yang tahu akan ke-Gus-annya Yunus karena dia adalah pengagum keluarga Mbah Masyhari; termasuk juga Gus Yunus. Maklum laila punya adik laki-laki; Hamid muadzin kecil pemilik suara emas yang diasuh oleh keluarga pondok Al Yatama, pondok abahnya Gus Yunus. Adik laki-laki inilah yang sering memberi informasi tentang Gus Yunus kepada Laila. Sehingga Laila lebih mencintai Gus Yunus karena KEISTIMEWAANYA, dibanding dengan Gus Yusuf yang terkenal BANDELNYA.
Salam kedua kembali terucap dari bibir Pak Syahid, lagi-lagi Yunus tetap nyenyak tidur di bangku pojok belakang bangku Aziz dan Aang.
“Bangun Gus,” suara laila yang membangunkan Yunus dari tidurnya saat jam pertama.
Setelah bangun, Yunus hanya tersenyum tipis dan kembali meletakkan kepalanya di atas bangku, dan tiba-tiba.
“Plaaak, tangan kekar Yusuf menghampiri pipi Yunus,” hanya kesakitan yang dirasakan, dia tetap nyenyak.
“Kalau berani, tampar pipi saya!” bentak Laila pada Yusuf seketika. Dia tak tega melihat Gus kesayangannya ditampar oleh Yusuf, siswa bandel se kelasnya.
“Sudah, sudah, “ Pak Syahid melarai.
Dalam hati Yusuf hanya ada rasa malu, atas kejadian yang dilakukan kepada Yunus, malu kepada Laila, bukan kepada Pak Syahid. Maklum, karena Laila adalah perempuan idaman Yusuf selama ini, meskipun pada dasarnya sudah berkali-kali Laila menolak cintanya, Yusuf tetap mengejar-ngejar hati gadis yang pernah jadi pemenang olimpiade matematika tingkat SMA se-kecamatan ini.
Pelajaran Tauhid yang disampaikan  Pak Syahid terus berlanjut, hingga Pak Syahid merogoh sakunya yang berisi amplop.
“Seratus ribu, untuk kalian”. “Gampang, bisa jawab perntanyaanku, ambil uang ini.” Pak Syahid tak ragu-ragu memberikan hadiah dari sebagian uang gajianya kepada siswa-siswanya.
“Gus, ada pertanyaan dari Pak Syahid, ayo bangun dan jawab.” suara Laila membangunkan Gus Yunus.
“Seratus ribu Gus!” Liala kembali mengiming-imingi Gus Yunus.
“Gak mungkin ada yang bisa jawab apalagi Yunus.” Teriak Yusuf dengan lantang, kemudian disahut teman-teman satu kelasnya.
“Kami yang bangun aja tidak paham, apalagi yang tidur.”  semua siswa tertawa mendengar ucapan anak buah geng Yusuf.
Seisi kelas sering tertipu dengan pertanyaan Pak Syahid, pertanyaanya selalu sulit terjawab.
Man Fauqo Ar Rosul Illa Allahu?” belum sempat Pak Syahid menunjuk anak yang dianggap pandai, Yunus yang masih mengusap matanya habis bangun tidur langsung menjawab.
“Tidak ada.” Jawaban Gus Yunus disambut tawa ramai oleh teman-temanya. Jawaban Yunus singkat, tapi Pak Syahid sudah mafhum; bahwa yang termulia di atasnya Nabi Muhammad kecuali Allah: tidak ada, yang termulia pertama adalah Allah, kemudian Rosul; Nabi Muhammad. Yang termulia di atas Nabi Muhammad hanya Allah, tak ada yang lain selain-NYA.
“Ini uangnya, ambil!, jawabanmu benar,”
Gantian Gus Yunus, Pak Syahid dan laila yang tertawa atas jawaban ini, sedang murid yang lain bengong.
“Ha!” serempak, kembali Heran.
                                                            ***
Makin hari, makin dibenci. Itulah sosok YUNUS di hati YUSUF, lantaran gadis idamanya memilih singgah di hati musuhnya. Yunus.
Hingga suatu ketika, terjadi kejadian yang mengguncang. Surat undangan tiba-tiba ada di ndalem Kyai Masyhuri, “Surat apa itu bah?” tanya bu nyai Latifah kepada suaminya yang sedang membaca surat, “Sepertinya abah kok serius, wonten nopo?” kembali bu nyai bertanya.
“Ada undangan penting dari pondoknya Yunus, abah disuruh kesana.” jawab suaminya.
Dan tak lama kemudian, sebuah amplop juga tiba di ndalem Kyai Salak, kyai ahli suwuk yang mengasuh pondok As Syuhada’ di lereng gunung Rengel. Kiai salak adalah julukan kepada Kiai Safak, lantaran dulu usai undangan ceramah di desa Kedung, kyai Salak pernah dikasih buah salak di berkatnya, dan isi buah salak itu dibuang di arel Rengel, lambat laun, kini rengel di kelilingi pohon salak, hingga kini hampir setiap rumah terdapat pohon salak.
“Bu, surat apa yang ibu baca?” Tanya Kyai salak pada bu nyai Aminah.
“Surat dari pondoknya Yusuf, kayaknya penting.” jawab  bu nyai Aminah.
Ringkas kata, dua kyai mendapat undangan, kyai Masyhuri dan Kyai Salak untuk datang ke pondok Al Munir, karena putranya terkena masalah. Dua kyai ini dipertemukan di ruang sidang, tempatnya di ruang keamanan sebelum para pelaku, saksi, dan barang bukti dibawa ke Pengadilan Negeri daerah setempat. Dua kyai ini seperti tak mengenal wajah yang terbungkus masa, masa 30 tahun yang lalu setelah mereka berpisah, tapi  meski keduanya seperti tak kenal, mereka tetap santai dan ramah dalam tatap muka, dalam sidang itu tak hanya pengurus pondok yang ikut hadir. Polisi dan wartawanpun tampak ada.
“Pak kyai yang terhormat, kami selaku ketua keamanan pondok Al Munir, sangat terpukul atas meninggalnya Laila, santriwati yang sangat cerdas dan taat pada peraturan pondok, dia meninggal lantaran diracun oleh putra sampeyan, Yunus!” ucap ketua sidang.
“Yusuf, adalah saksinya, dan mie ini adalah barang buktinya, dia diracun lewat makanan ini saat sarapan pagi dua hari yang lalu.” sambung ketua sidang.
Kyai Masyhuri terus membantah, “tidak mungkin anakku berbuat demikian,”
“Ya Bah, ini fitnah!, ini adalah akal-akalan Yusuf karena cintanya ditolak oleh almarhumah Laila.” Yunus ikut mengelak
Adu mulut terus membara, penuh emosi.
Jepret kamera wartawan tak henti menyilaukan pandangan Kyai Masyhuri lewat kacamata tebalnya.
Di tengah sidang, tiba-tiba Aang dan Aziz datang, “Kami berdua saksinya.” Dua temannya datang pas pada waktunya, Yunus menghela nafas.
“Benar, dia tidak bersalah,” dan usut-diusut, sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, pasti tercium juga baunya. Begitu juga sepandai-pandainya Yusuf menyembunyikan masalah ini. Memang sebenarnya tidak ada niatan untuk membunuh pujaan hatinya sendiri, pelaku hanya ingin meracun lantaran sering cemburu, karena Laila perhatian dengan musuhnya; Gus Yunus. Tapi malah terjadi episode yang tragis, se-TRAGIS Qobil-Habil memperebutkan wanita.
Ketua sidang langsung membacakan putusan sementara; sebelum ditindak lanjuti di Sidang Pengadilan Negeri, “Bahwa yang bersalah adalah YUSUF bin Kyai Salak alias Kyai Safak.”
Tiba-tiba tubuh Kyai Masyhuripun lemah dan pingsan, usai mendengar nama yang tak asing, ‘YUSUF dan SAFAK’.
Dan sayapun yang membaca ini masih tercenung dan belum bisa mempercayainya, kalau Yusuf, putra Kyai Safak alias Kyai Salak adalah nama pemberian Kyai Masyhuri tempo dulu ketika mereka berdua masih di pondok, sebuah janji persahabatan yang tetap erat dan harmonis yang diidamkan kala itu, meskipun keduanya telah berpisah, malah berakhir tragis oleh ulah anak Kyai Safak yang tergoda oleh nasfu kebengisanya atas wanita idaman, Laila.
Tuhan berkata lain, harapan persahabatan dua teman akrab ini berakhir di episode yang jauh dari keinginannya, ‘MANUSIA HANYA BERENCANA, TUHAN YANG MENENTUKAN’. KETETAPAN TUHAN ADALAH MISTERI, seperti; MIE yang tetap MISTERI.
Suci, 10 Januari 2013



Oleh: Agus Ibrahim Ibnu Syuhada’ Al Masyhari.
Santri PP Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik

Foto : infokepanjen.com

No comments:

Post a Comment

terimakasih komentarnya,, disarankan komentar sopan, dan setiap komentar ditanggung sendiri-sendiri