Sebuah CERPEN yang diilhami dari kisah nyata.
Judul:.
“Kelak kita akan berpisah, untuk mengenang persahabatan yang telah lama
kita jalin selama di pondok, aku akan menggunakan nama pemberianmu dan kau
menerima nama pemberianku sebagai nama anak kita kelak.” sumbar Kyai Salak tiga puluh tahun lalu, tapi baru
teringat kembali di ingatan Kyai Masyhuri belakangan ini, setelah baru
dikaruniai anak pertamanya dari jalinan kasih sayang dengan Bu Nyai Latifah selama 10 tahun.
Bayi
mungil yang baru lahir tiga hari yang lalu itu terus dipandangi oleh Kyai
Masyhuri, sampai ia tersenyum sendiri ketika melihat hidung mancung bayi
laki-lakinya. “Bu, bayi ini kelak akan jadi anak luar biasa.” ucap kyai pada
istrinya.
“Luar
biasa gimana tho?” tanya Bu Nyai
Latifah penasaran.
“Ya, kayak mbahnya dulu,” sambil
menggendong bayinya, lalu ia duduk di atas kursi yang biasa ia gunakan untuk
menemui para tamunya.
“Nak,
wajahmu benar-benar mirip mbahmu, pasti keistimewaanmu juga tak jauh darinya.”
Suara ini masuk telinga kanan bayi yang masih belum punya nama itu, seakan-akan
bayi itu mengerti dan paham omongan abahnya, Kyai Masyhuri.
“Amiiin.”
Sahut Bu Nyai Latifah yang ada disampingnya.
“Besok
tanggal 12 Maret kita adakan acara Aqiqah
dan walimah tasmiyah ya Bah?” pinta bu nyai pada abah, nama panggilan yang
sering dilontarkan untuk suaminya, Kyai Masyhuri.
“Inggih, bu, tapi….” Perkataan kyai
Masyhuri terputus dan ia langsung
meletakkan bayinya di kasur, tempat istirahat.
“Tapi
kenapa Bah? Penasaran.
“Abah,
tidak bisa menuruti permintaan sampeyan saat usia kandungan ibu genap 8 bulan
lalu, ibu inginya nama anak kita kalau laki-laki, Harun, dan kalau perempuan,
Aisyah.”
“Maksudnya
gimana toh Bah, aku kok gak paham!” dengan nada agak kecewa bu nyai terus menunggu
penjelasan suaminya.
“Abah
tidak pernah cerita pada sampeyan, kalau dulu abah pernah punya teman akrab
saat masih di pondok dan punya perjanjian.” ujar Kyai Masyhuri panjang lebar
tentang masa lalunya.
Persahabatan
saat Masyhuri kecil; masih di pesantren dulu penuh kenangan, hingga di mana
saja kaki Masyhuri berpijak, disitulah Safak, teman karibnya ikut bersamanya. Persahabatanya
sangatlah erat, hingga pada suatu hari, ketika Safak dan Masyhuri sedang asyik menghafal nadlom Al Fiyah 1002
bait di kebun rumput gajah milik pengasuh yang sengaja ditanam di samping
kandang sapi, di tempat penuh hijau daun yang bergoyang-goyang menanyikan
bait-bait agung dan di bawah biru langit yang sangat bersahabat itulah Safak
melingkarkan jari kelingkingnya pada jari Masyhuri. Safak berkata, “Aku sengaja
mengucapkan janjiku ini tak lain untuk mengenang kehidupan kita pada 30 tahun
ke depan, karena aku takut kalau kelak setelah kita keluar dari pondok jalinan persahabatan kita putus karena jarak,
maka hari ini aku akan memberikanmu nama, ‘YUNUS’ sebagai nama anakmu kelak.”
ucapnya penuh yakin dan ia menatap wajah Masyhuri, “Nama apa yang akan kau
berikan untuk anakku kelak? Tanya Safak sembari
menutup sampul Al Fiyah Ibnu Malik. Tak lama, hanya hitungan detik Masyhuri
menjawab. “YUSUF, itu pantas untuk nama anakmu kelak, sama-sama nama Nabi”. Tak
lama setelah perjanjian di kebun bersejarah itu, sekitar 15 tahun kemudian dua
santri ini lulus dan pulang ke kampung halaman.
Mendengar
penjelasan suaminya, Bu Nyai Latifah manggut-manggut, “Dengan taat kepada
suami, ibu setuju dengan permintaan abah kalau anak pertama kita Yunus, tapi
ibu minta pada anak kedua kelak, nama pemberian Ibu; Harun atau Aisyah harus
digunakan!”
“Inggih Bu.” Jawab Kyai Masyhuri dengan
tanpa ragu.
***
Lima
belas tahun telah berlalu, Gus Yunus; sebutan akrab putra Kyai Masyhuri
pengasuh pondok Al Yatama ini biasa dipanggil para santri-santri; anak-anak
yatim pondok Al Yatama. Tak terasa kini Gus Yunus telah berusia 14 tahun,
sesuai wasiat kakeknya, Mbah Masyhari. Kelak saat umur cucunya genap 14 tahun
harus dimasukkan ke pondok, wasiat inilah yang disampaikan Mbah Masyhari kakek
Gus Yunus kepada abahnya, Kyai Masyhuri, tepatnya satu bulan sebelum wafat. Wasiat
kyai istimewa yang ada di kampung tempat pondok Al yatama berdiri. Diceritakan
konon ketika kyai Masyhari tirakat,
tak tanggung-tanggung, selain tidak makan lauk
yang bernyawa selama 5 tahun; makan tumbuh-tumbuhan, juga sering jalan
kaki setiap menggunjungi makam-makam wali di seluruh penjuru tanah jawa, hanya
ditemani alas kaki terbuat dari kayu. Klompen. Tak heran jika pendiri pondok Al
Yatama ini punya keistimewaan luar biasa, sehingga tamu-tamunya tak pernah sepi
untuk minta barokah doa dan amalan-amalan.
Suatu
malam, di keheningan yang larut, tak ada mendung dan tak ada suara cericitan
kelalawar yang biasanya sering mengusik penduduk sekitar dengan suaranya saat
menyantap buah mangga depan rumah warga, sajadah bergambar masjid Nabawi
terbentang, tiba-tiba suara mengejutkan.
“Tok, to, tok.” suara orang mengetuk pintu ndalem Kyai Masyhuri terdengar dari dalam.
“Siapa
ya?, tunggu sebenta.r” ucap Bu Nyai Latifah
dari dalam rumah; masih mengenakan mukena,
beliaupun berjalan menuju pintu depan.
“Siapa
ya, malam-malam begini ngetuk pintu.” Ujarnya sebelum membuka gagang pintu.
Tak
ada orang yang ia lihat saat pintu terbuka, dia masuk kamar lagi dan meneruskan
bermunajat di sepertiga malam, baru dapat dua puluh menit dia membaca amalanya
setelah sholat malam usai, terdengar ketukan kedua kali dari luar, malah bunyinya
lebih keras meskipun lebih sedikit ketukannya. Tak
banyak pikir, Bu Nyai Latifahpun langsung menuju pintu sembari tanganya masih
memegang wirid.
“Kriettt,
suara pintu terbuka, Bu nyai Latifah celingukan melihat depan rumah, tak ada
satu orangpun yang nampak, tapi sebelum menutup pintu, matanya Bu Nyai melihat
1 kardus Mie instan tergeletak di dekat pot bunga. Bu Nyai Latifah tidak habis
pikir, dia langsung mengambil dan meletakkan kardus mie itu di dekat TV ruang
tamu, dikira itu pemberian Haji Shabirin pemilik toko Makmur depan rumah pak RT yang rutin
bersedekah untuk santri-santri anak yatim yang tinggal di asrama pondok Al
Yatama.
Malam itu Bu Nyai sendirian, Kyai
Masyhuri sedang keluar kota memenuhi undangan. Tak lama, habis melanjutkan
bacaan wiridnya, Bu Nyai tidur, menunggu adzan shubuh.
“As Sholatu khorun min annaum”, suara merdu inilah yang selalu membangunkan Bu Nyai dan
keluarga ndalem Pondok Al Yatama, maklum suara emas ini milik Hamid, santri
putra umur 12 tahun yang ditinggal mati bapak-ibunya saat mengais rizki di
negeri tetangga.
Setelah usai wudlu, Bu Nyai
menuju mushola untuk sholat shubuh berjamaah, shubuh ini Kang Ilham yang menjadi badal Kyai Masyhuri. Usai
sholat, saat Kang Ilham berjalan menuju depan mushola, Bu Nyai Latifah
memanggil kang Ilham, ketua keamanan pondok Al Yatama.
“Tadi
malam, ada tamu yang masuk pondok?” tanya Bu Nyai dengan berdiri di depan para
santri-santri putri yang masih memakai mukena merk Denisa.
“Kirangan, ketingale mboten wonten.” jawab
kang Ilham dengan logat jawa tengah yang kental sembari menggeleng kepala.
“Kok
ada Mie di depan rumah?” tanyanya lagi pada pengurus tertua ini.
Kang Ilham kembali menggeleng, dan Bu
Nyaipun langsung kundur ke ndalem.
***
Kejadian
aneh yang dialami Bu Nyai dua minggu yang lalu telah lewat. Baru saja beliau
akan menanyakan kejadian aneh itu pada Kyai Masyhuri, suaminya. Tapi, terdengar suara
membuyarkan niatnya, “Tok,tok,tok, Assalamualaikum.”
salam itu terucap dari bibir orang yang tak asing bagi keluarga ndalem, Kang
Saparun, pengurus Masjid As Salam yang tak jauh dari pondok Al Yatama.
Kedatangan
tamu rutinan ini tak lain untuk mengundang Kyai Masyhuri untuk mengisi
pengajian rutinan setiap malam kamis akhir bulan Rajab, “Kyai bisa hadir?”
tanya Kang Saparun dengan nada seperti biasannya. Gagap.
Jawab kyai, “Insya Allah, habis dari
Masjid As Salam, sampeyan bisa nemani saya ke Pondok Al Munir, sambang Yunus,
sudah dua bulan tak kesana, katanya uangnya habis.” Jawab Kyai sekaligus
mengajak Kang Saparun sambang putra satu-satunya.
“Insya
Allah, Kyai.” Jawab Kang Saparun.
Sesuai
wasiat Mbah Masyhari, ketika genap 14 tahun Gus Yunus dipondokkan di pondok
yang telah ditunjuk oleh mbahnya sendiri, pondok Al Munir yang berlokasi di
jantung kota Muria.
Hari yang ditunggu datang, usai
memberikan ceramah di Masjid As Salam, Kang Saparun ikut mobil kijang biru tua
menuju pegunungan Muria, tempat Gus Yunus menimba ilmu.
Perjalanan
dari kota tempat Kyai Masyhuri sampai pondok Al Munir
sangatlah jauh, ditempuh waktu 1 hari untuk sampai sana.
Dalam
setiap perjalanan, Bu Nyai yang ada di rumah tak habis-habis mengucapkan doa
untuk suaminya yang sedang perjalanan jauh, karena jalan yang menanjak dan
berlubang di areal gunung Muria. Saking capeknya, Bu
nyai, akhirnya tertidur di sebelah ruang yang biasa ia gunakan menjahit.
Tidurnya cukup nyenyak, maklum seharian penuh beliau mengurus keperluan
anak-anak yatim. Ketika jarum jam berada di angka dua dini hari, ia terbangun
karena terdengar suara, ketukan pintu.
Mungkin lupa akan jauhnya perjalanan
suaminya untuk sampai pondok Al Munir,
karena belum sepenuhnya sadar, dia langsung menuju pintu, yang dikiranya Kyai
Masyhuri, suaminya.
Ternyata
kosong dan gelap. Tak ada orang yang tampak mata, iapun melihat kejadian
seperti kejadian dua minggu yang lalu. Kembali matanya melihat mie instan di
dekat pot bunga kamboja, aneh, jumlahnya tambah banyak, 5 tumpuk mie instan.
“Kang
Ilham, kang Ilham, tolong kesini.” Panggil Bu Nyai
Tak lama kang Ilham datang, “ini mie
siapa?”
Kang ilham tak berubah, sama seperti dua
minggu yang lalu. Menggeleng kepala.
“Ya
udah, pindah mie ini ke kantor pondok, besok kalau abah sudah datang, biar tak
tanya aja.” usai menyuruh, beliaupun masuk rumah dan bergumam dalam hati. Aneh!, setiap abah tidak di rumah pasti ada
yang mengantarkan mie tengah malam.
***
Mobil
kijang biru berhenti persis depan gedung SMA
Al Munir, kyai Masyhuri langsung menuju asrama Yunus, sesampai asrama
kyai Masyhuri masih menunggu di ruangan 3x4 m yang berdekatan dengan kamar
putranya, waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB, semua santri masih belajar di
sekolah. Tak lama kemudian.
Bel
pulang sekolah berbunyi, tapi sosok anaknya belum kelihatan, satu persatu
santri diamati oleh Kyai Masyhuri, tetap tidak dijumpai.
Kyai
Masyhuri dan Kang Saparun langsung menuju gedung SMA Al Munir, mencari keberadaan
Gus Yunus.
Satu persatu ruang kelas dilewati, tepat
di ruang kelas yang berada di samping kantor, Kyai Masyhuri terkejut.
“Nak,
bangun nak, bangun,” suara kyai membangunkan putranya yang nyenyak tidur di
atas bangku, tanpa ragu Yunus langsung mencium tangan abahnya, meskipun dia
masih belum sepenuhnya sadar.
Pemandangan
ini tak aneh bagi Yunus, maklum tiap malam dia tak pernah tidur, keliling
pondok dan begadang. Tak heran jika tiap waktunya belajar, dia tidur pulas di
bangkunya. Qodlo’ tidur.
Seusai
menyelipkan amplop di saku Gus Yunus, abahnya pamit pulang, tak banyak pesan
yang disampaikan, hanya “ANAK SINGA HARUS JADI SINGA”. Cukup.
***
“Assalamualaikum,”
ucap guru muda yang penuh inspirasi di ruang kelas 1 SMA. Al Munir
Serempak
siswa-siswi menjawab dengan semangat. Waalaikumsalam”.
Seperti biasa,
hanya satu siswa yang tak menjawab, Yunus.
Yunus
dan Yusuf memang putra seorang Kyai;Gus. Tapi teman-temanya tak ada yang tahu sosok di
balik layar seorang Yunus dan Yusuf, hanya Laila yang tahu.
Seorang gadis cantik yang tahu akan ke-Gus-annya Yunus karena dia
adalah pengagum
keluarga Mbah Masyhari; termasuk juga Gus Yunus. Maklum laila
punya adik laki-laki; Hamid muadzin kecil pemilik suara emas yang diasuh oleh
keluarga pondok Al Yatama, pondok abahnya Gus Yunus. Adik laki-laki inilah yang
sering memberi informasi tentang Gus Yunus kepada Laila. Sehingga Laila lebih mencintai Gus Yunus karena KEISTIMEWAANYA, dibanding
dengan Gus Yusuf yang terkenal BANDELNYA.
Salam kedua kembali terucap dari bibir Pak Syahid, lagi-lagi Yunus tetap
nyenyak tidur di bangku pojok belakang bangku Aziz dan Aang.
“Bangun
Gus,” suara laila yang membangunkan Yunus dari tidurnya saat jam pertama.
Setelah bangun,
Yunus hanya tersenyum tipis dan kembali meletakkan kepalanya di atas bangku,
dan tiba-tiba.
“Plaaak,
tangan kekar Yusuf menghampiri pipi Yunus,” hanya kesakitan yang dirasakan, dia
tetap nyenyak.
“Kalau
berani, tampar pipi saya!” bentak Laila pada Yusuf seketika. Dia tak tega
melihat Gus kesayangannya ditampar oleh Yusuf, siswa bandel se kelasnya.
“Sudah,
sudah, “ Pak Syahid melarai.
Dalam
hati Yusuf hanya ada rasa malu, atas kejadian yang dilakukan kepada Yunus, malu
kepada Laila, bukan kepada Pak Syahid. Maklum, karena Laila adalah perempuan idaman Yusuf selama ini, meskipun
pada dasarnya sudah berkali-kali Laila menolak cintanya, Yusuf tetap
mengejar-ngejar hati gadis yang pernah jadi pemenang olimpiade matematika
tingkat SMA se-kecamatan ini.
Pelajaran Tauhid yang disampaikan
Pak Syahid terus berlanjut, hingga Pak Syahid merogoh sakunya yang
berisi amplop.
“Seratus
ribu, untuk kalian”. “Gampang, bisa jawab perntanyaanku, ambil uang ini.” Pak
Syahid tak ragu-ragu memberikan hadiah dari sebagian uang gajianya kepada
siswa-siswanya.
“Gus,
ada pertanyaan dari Pak Syahid, ayo bangun dan jawab.” suara Laila membangunkan
Gus Yunus.
“Seratus
ribu Gus!” Liala kembali mengiming-imingi
Gus Yunus.
“Gak
mungkin ada yang bisa jawab apalagi Yunus.” Teriak Yusuf dengan lantang,
kemudian disahut teman-teman satu kelasnya.
“Kami yang bangun aja tidak paham,
apalagi yang tidur.”
semua siswa tertawa mendengar ucapan anak buah geng Yusuf.
Seisi kelas
sering tertipu dengan pertanyaan Pak Syahid, pertanyaanya selalu sulit
terjawab.
“Man Fauqo Ar Rosul Illa Allahu?” belum
sempat Pak Syahid menunjuk anak yang dianggap pandai, Yunus yang masih mengusap
matanya habis bangun tidur langsung menjawab.
“Tidak
ada.” Jawaban Gus Yunus disambut tawa ramai oleh teman-temanya. Jawaban Yunus singkat, tapi Pak Syahid sudah mafhum; bahwa yang
termulia di atasnya Nabi Muhammad kecuali Allah: tidak ada, yang termulia
pertama adalah Allah, kemudian Rosul; Nabi Muhammad. Yang termulia di atas Nabi
Muhammad hanya Allah, tak ada yang lain selain-NYA.
“Ini
uangnya, ambil!, jawabanmu benar,”
Gantian Gus
Yunus, Pak Syahid dan laila yang tertawa atas jawaban ini, sedang murid yang
lain bengong.
“Ha!”
serempak, kembali Heran.
***
Makin
hari, makin dibenci. Itulah sosok YUNUS di hati YUSUF, lantaran gadis idamanya
memilih singgah di hati musuhnya. Yunus.
Hingga
suatu ketika, terjadi kejadian yang mengguncang. Surat undangan tiba-tiba ada
di ndalem Kyai Masyhuri, “Surat apa
itu bah?” tanya bu nyai Latifah
kepada suaminya yang sedang membaca surat, “Sepertinya abah kok serius, wonten nopo?” kembali bu nyai bertanya.
“Ada
undangan penting dari pondoknya Yunus, abah disuruh kesana.” jawab suaminya.
Dan
tak lama kemudian, sebuah amplop juga tiba di ndalem Kyai Salak, kyai ahli suwuk yang mengasuh pondok As Syuhada’ di lereng gunung Rengel. Kiai salak adalah julukan
kepada Kiai Safak, lantaran dulu usai undangan ceramah di desa Kedung, kyai
Salak pernah dikasih buah salak di berkatnya,
dan isi buah salak itu dibuang di arel Rengel, lambat laun, kini rengel di
kelilingi pohon salak, hingga kini hampir setiap rumah terdapat pohon salak.
“Bu,
surat apa yang ibu baca?” Tanya Kyai salak pada bu nyai Aminah.
“Surat
dari pondoknya Yusuf, kayaknya penting.” jawab
bu nyai Aminah.
Ringkas
kata, dua kyai mendapat undangan, kyai Masyhuri dan Kyai Salak untuk datang ke
pondok Al Munir, karena putranya terkena masalah. Dua kyai ini dipertemukan di
ruang sidang, tempatnya di ruang keamanan sebelum para pelaku, saksi,
dan barang bukti dibawa ke Pengadilan Negeri daerah setempat. Dua kyai ini
seperti tak mengenal wajah yang terbungkus masa, masa 30 tahun yang lalu
setelah mereka berpisah, tapi meski
keduanya seperti tak kenal, mereka tetap santai dan ramah dalam tatap muka,
dalam sidang itu tak hanya pengurus pondok yang ikut hadir. Polisi
dan wartawanpun tampak ada.
“Pak
kyai yang terhormat, kami selaku ketua keamanan pondok Al Munir, sangat
terpukul atas meninggalnya Laila, santriwati yang sangat cerdas dan taat pada
peraturan pondok, dia meninggal lantaran diracun oleh putra sampeyan, Yunus!”
ucap ketua sidang.
“Yusuf,
adalah saksinya, dan mie ini adalah barang buktinya, dia diracun lewat makanan
ini saat sarapan pagi dua hari yang lalu.” sambung ketua sidang.
Kyai Masyhuri
terus membantah, “tidak mungkin anakku berbuat demikian,”
“Ya
Bah, ini fitnah!, ini adalah akal-akalan Yusuf karena cintanya ditolak oleh
almarhumah Laila.” Yunus ikut mengelak
Adu mulut terus
membara, penuh emosi.
Jepret kamera
wartawan tak henti menyilaukan pandangan Kyai Masyhuri lewat kacamata tebalnya.
Di
tengah sidang, tiba-tiba Aang dan Aziz datang, “Kami berdua saksinya.” Dua
temannya datang pas pada waktunya, Yunus menghela nafas.
“Benar,
dia tidak bersalah,” dan usut-diusut, sepandai-pandainya orang menyembunyikan
bangkai, pasti tercium juga baunya. Begitu juga sepandai-pandainya Yusuf
menyembunyikan masalah ini. Memang sebenarnya tidak ada
niatan untuk membunuh pujaan hatinya sendiri, pelaku hanya ingin meracun
lantaran sering cemburu, karena Laila perhatian dengan musuhnya; Gus Yunus.
Tapi malah terjadi episode yang tragis, se-TRAGIS Qobil-Habil memperebutkan
wanita.
Ketua
sidang langsung membacakan putusan sementara; sebelum
ditindak lanjuti di Sidang Pengadilan Negeri, “Bahwa yang
bersalah adalah YUSUF bin Kyai Salak alias Kyai Safak.”
Tiba-tiba
tubuh Kyai Masyhuripun lemah dan pingsan, usai mendengar nama yang tak asing,
‘YUSUF dan SAFAK’.
Dan sayapun yang membaca ini masih tercenung dan belum bisa mempercayainya,
kalau Yusuf, putra Kyai Safak alias Kyai Salak adalah nama pemberian Kyai
Masyhuri tempo dulu ketika mereka berdua masih di pondok, sebuah janji
persahabatan yang tetap erat dan harmonis yang diidamkan kala itu, meskipun
keduanya telah berpisah, malah berakhir tragis oleh ulah anak Kyai Safak yang
tergoda oleh nasfu kebengisanya atas wanita idaman, Laila.
Tuhan
berkata lain, harapan persahabatan dua teman akrab ini berakhir di episode yang
jauh dari keinginannya, ‘MANUSIA HANYA BERENCANA, TUHAN YANG MENENTUKAN’.
KETETAPAN TUHAN ADALAH MISTERI, seperti; MIE yang tetap MISTERI.
Suci, 10 Januari 2013
Oleh: Agus Ibrahim
Ibnu Syuhada’ Al Masyhari.
Santri PP Mambaus
Sholihin Suci Manyar Gresik
Foto : infokepanjen.com
No comments:
Post a Comment
terimakasih komentarnya,, disarankan komentar sopan, dan setiap komentar ditanggung sendiri-sendiri