LEBARAN DUA VERSI
Oleh : ahmad musta'in syafi'ie
Kiai
Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu sekawan, sama-sama menunut
ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih.
Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan
menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.
Kiai
Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal
dari kuto Ngayogyokarto. Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan
pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat,
ikhlas dan mulia. Allahumm ighfir lahum.
Keduanya memperjuangkan
kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan
pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan
kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih
hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada
perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.
Contoh kesamaan
praktek ibadah kala itu antara lain : Pertama, shalat tarawih, sama-sama
dua puluh rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam
shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya. Kedua, talqin
mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan
tahlilan (?). Ketiga, baca doa qunut Shubuh. Keempat, sama-sama gemar
membaca shalawat (diba'an).
Kelima, dua kali khutbah dalam shalat
Id, Idul Ftri dan Idul Adha. Keenam, tiga kali takbir, "Allah Akbar",
dalam takbiran. Ketujuh, kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang
dua kali, dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama
pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan
dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.
Semua amaliah
tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat.
Semuanya tertulis dalam kitaf Fikih Muhammadiayah yang terdiri dari tiga
jilid, yang diterbitkan oleh : Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka
Jogjakarta, tahun 1343an H. Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis
Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya "
harus beda " dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh
pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum
Nahdhiyyin. Perkara dalail, nanti difikir bareng dan dicari-carikan.
Disinyalir,
tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan
hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti
Hadis-hadis yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam
menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.
Setelah uji
takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah : bahwa mayoritas
Hadis-Hadis yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha'if.
Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn
Ma'in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha'if tidak
boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah
berfadhilah atau Fadha'il al-a'mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat
membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga
Ygyakarta.
Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek
pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai
membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat
shalat Tarawih depalan plus tiga witir, bagaimana praktiknya ?.
Awal-awal
instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3. Empat rakaat satu salam, empat
rakaat satu salam. Ini untuk tarawih. Dan tiga rakaat untuk witir. Model
witir tiga sekaligus ini vrsi madzahab Hanafi. Sementara wong NU pakai
dua-dua semua dan ditutup satu witir. Ini versi al-Syafi'ie.
Tapi
pada tahun 1987, praktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi
dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah
di masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadis dari Shahih Muslim
yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih
ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun
itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua
masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat
tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih
ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.
Kini
soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan
emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak,
apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa
Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan
dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru
pimpinan pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai deprtemen
Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke
atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu
pakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama mengunakan
rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil
mereka sama, pakai Hadis rukyah dan ikmal.
Oleh karena itu,
tahun 90an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena
hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara
Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai
adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau
lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima
oleh departemen agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan
melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara
Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.
Setelah
pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang
Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan
publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi,
sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran
belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah
cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal.
Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi.
Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.
Lalu
membuat metode "wujud al-hilal". Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu
hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya,
nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka
tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback
up pemerintah. Hadis yang dulu dielu-elukan, ayat al-Qur'an berisikan
seruan " taat kepada Allah, Rasul dan Ulil amr " dibuang dan arergi
didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.
Populerkah metode "wujud al-hilal" dalam tradisi keilmuwan falak ?. Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupu sekarang.
Di
sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu,
Muhammadiyah hilal harus berajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana
pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang
derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik
lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya.
Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang
sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya tak kan bisa
disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.
Dilihat
dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa
yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang
persoalan di kalangan umat ?.
Menyikapi lebaran dua versi, warga
Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan
dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah
atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain ?.
Perkara
dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu' atau
teropong moderen sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu
dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.
Hebatnya,
semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu
bungkam dan tunduk semua kepada keputusan majlis tarjih. Tidak ada yang
mengkritik, padahal kelamahan akademik pasti ada. Minal aidin al-faizin,
mohon maaf lahir dan batin.
Penulis adalah Direktur Madrasatul Qur’an Tebuireng KH. Musta’in Syafi’i, M.Ag.
facebook.com
No comments:
Post a Comment
terimakasih komentarnya,, disarankan komentar sopan, dan setiap komentar ditanggung sendiri-sendiri