ASPEK KEMU’JIZATAN AL QUR’AN PRESPEKTIF PARA ULAMA’
Menurut al-Qurtubi, ada sepuluh aspek ke-mu’jizat-an al-Qur’an. Pertama, keindahan komposisi bahasa Arab yang berbeda dengan komposisi sastra manapun. Kedua, gaya bahasa yang unik dan berbeda dengan gaya bahasa Arab biasa. Ketika, memuat konsep-konsep yang tidak mungkin ditiru oleh makhluq-Nya. Keempat, penetapan syari’ah yang sempurna dan melampaui segala hukum ciptaan manusia. Kelima, pemberitaan ghaib yang hanya diketahui oleh wahyu. Keenam, tidak kontradiktif dengan kepastian ilmu-ilmu alam. Ketujuh, pemenuhan janji baik atau buruk yang telah dijanjikan oleh ayat-ayat sebelumnya. Kedelapan, kekayaan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan, yaitu berupa ilmu syari’ah atau ilmu alam. Kesembilan, kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dan Kesepuluh, pesona yang dikandung oleh al-Qur’an pada setiap orang yang membaca. Lebih dari itu, al-Zarqani, mencatat ke-mu’jizat-an al-Qur’an sebanyak enam belas.
Sebagian Ulama’, berpendapat bahwa aspek ke-mu’jizat-an al-Qur’an terletak pada kualitas balghoh-nya, yang tidak ada bandingannya. Kelompok ini merupakan para ahli bahasa Arab yang kaya dengan perasaan dan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang lain. Berkeyakinan bahwa aspek ke-mu’jizat-an al-Qur’an, terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal yang ghaib, yang akan datang, atau prediksi masa depan diluar kadar kemampuan manusia.
Semua pendapat diatas, pada dasarnya tidak keluar dari orientasi yang sama, bahwa al-Qur’an adalah bayan (penjelasan, retorika) dan nazam (jelmaan) yang seirama dengan nafas kehidupan manusia dan alam, yang makna-maknanya telah menyingkap tabir hakikat kemanusian dan misinya dialam kosmos ini. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menguraikan sedikit (dengan segala keterbatasan) tentang aspek-aspek tersebut dalam tiga hal ; yaitu aspek bahasa, ilmu pengetahuan, dan pemberitaan ghaib.
A. Aspek Bahasa
Dari aspek bahasa, al-Qur’an merupakan bahasa bangsa Arab Quraisy yang mengandung unsur sastra yang sangat tinggi mutunya. Ketinggian mutu sastra al-Qur’an ini, meliputi berbagai segi, kaya akan perbendaharaan kata-kata, padat akan makna yang dikandung, penyusunan redaksi yang menakjubkan, keseimbangan-keseimbangan yang sangat serasi antara redaksi yang digunakan, sehingga tidak heran jika kemudian Syeikh Nashif al-Jaazidy, ketika memberikan nasehat kepada anaknya, Ibrahim, mengenai kualitas sastra al-Qur’an ini, berkata “apabila kamu ingin mengatasi teman-teman kamu dibidang kesusastraan dan karang-mengarang, maka hendaklah kamu menghafal al-Qur’an”
B. Aspek Ilmu Pengetahuan
Hakikat ilmiah yang disinggung dalam al-Qur’an, dikemukan dalam redaksi yang singkat dan sarat akan makna. Ketika pengetahuan itu belum ditemukan, al-Qur’an pada dasarnya telah memberikan isyarat tentangnya, dan al-Qur’an sendiri tidaklah mempunyai pretensi pertentangan dengan penemuan-penemuan baru yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian ilmiah. Misalnya, al-Qur’an berbicara mengenai awan. Proses pembentukan hujan dimulai dengan pembentukan awan tebal karena adanya dorongan angin sedikit demi sedikit (perhatikah ayat berikut “tidakkah kamu melihat (bagaimana) Allah menggerakkan awan, kemudian mengumpulkan (bagian-bagian)-nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kamu lihat hujan keluar dari celah-celah (awan). (QS. 24 : 43.). Para ilmuan kemudian menjelaskan bahwa awan tebal bermula dari dorongan angin yang mengiringi ke-awan-awan kecil, menuju ke convergence zone (daerah pusat pertemuan awan). Pergerakan bagian-bagian awan ini, menyebabkan bertambahnya jumlah uap air dalam perjalanannya, terutama pada convergece zone itu.
C. Aspek Pemberitaan Ghaib
Selain penegasan al-Qur’an terhadap kebenaran ilmiah, al-Qur’an juga meyakinkan kepada pembacanya bahwa al-Qur’an mampu memprediksi masa depan (nubuwah), kejadian-kejadian pada masa Nabi atau Umat terdahulu, dan kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal Nabi.
Al-Qur’an juga berisi tentang pengetahuan yang kemudian baru diketemukan pada ribuan tahun setelah al-Qur’an turun, misalnya kesatuan alam, khasiat madu, dll., yang kesemuanya itu terbukti sampai saat ini. terjadinyaperkawinan dalam tiap-tiap benda, perbedaan sidik jari manusia,
METODE DAKWAH DALAM AL QUR’AN
Dalam al-Qur’an surah Al-Nahl (16): 125 termuat beberapa metode dakwah sebagaimana dapat dibaca dalam firman Allah swt:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari JalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Tiga metode dakwah yang terkandung dalam ayat ini, yaitu : metode al-hikmah, metode al-maw’izhah dan metode mujadalah.
Metode al-hikmah
Kata al-hikmah terulang sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata ini berarti kebijaksanaan, bagusnya pendapat atau pikiran, ilmu, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, pepatah dan juga berarti al-Qur’an al-Karim. Hikmah juga diartikan al-Ilah, seperti dalam kalimat hikmah al-tasyri’ atau ma hikmah zalika dan diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya.
Makna al-hikmah yang tersebar dalam al-Qur’an di 20 tempat tersebut, secara ringkas, mengandung tiga pengertian. Pertama, al-hikmah dalam arti “penelitian terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam dengan menggunakan akal dan penalaran”. Kedua, al-hikmah yang bermakna “memahami rahasia-rahasia hukum dan maksud-maksudnya”. Ketiga, al-hikmah yang berarti “kenabian atau nubuwwah”.
Adapun kata al-hikmah dalam ayat ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ menurut al-Maraghi (w. 1945), berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan. Sedang Muhammad Abduh (w. 1905) mengartikan al-hikmah sebagai ilmu yang sahih yang mampu membangkitkan kemauan untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat dan kemampuan mengetahui rahasia dan faedah setiap sesuatu. Dalam Tafsir Departemen Agama disebutkan bahwa al-hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.
Metode al-Maw’izah al-hasanah
Metode dakwah kedua yang terkandung dalam QS. Al-Nahl (16) ayat 125 adalah metode al-maw’izat al-hasanah. Maw’izat dari kata وعظ yang berarti nasehat. Juga berarti menasehati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan, menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat. Kata maw’izat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Kata ini berarti nasehat yang memiliki ciri khusus, karena mengandung al-haq (kebenaran), dan keterpaduan antara akidah dan akhlaq serta mengandung nilai-nilai keuniversalan. Kata al-hasanah lawan dari sayyi’ah, maka dapat dipahami bahwa maw’izah dapat berupa kebaikan dan dapat juga berupa keburukan.
Metode al-Mujàdalah
Al-Mujàdalah terambil dari kata جدل, yang bermakna diskusi atau perdebatan. Kata jadal (diskusi) terulang sebanyak 29 kali dengan berbagai bentuknya di beberapa tempat dalam al-Qur’an.
Dari kata-kata itu, yang menunjuk kepada arti diskusi mempunyai tiga obyek, yaitu: membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran, (2) mempunyai ilmu atau ahli kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari berbagai macam obyek dakwah dalam berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan pada obyek yang mempunyai ilmu. Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan pemikiran yang tinggi dan wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an menyuruh manusia dengan istilah ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal disampaikan dengan ahsan (yang terbaik) menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk, ada yang baik, yang terbaik dan yang buruk.
Al-Maraghi mengartikan kalimat ‘wa jadilhum bi allatiy hiya ahsan’ dengan berdialog dan berdiskusi agar mereka patuh dan tunduk. Sedangkan Sayyid Qutb mengartikannya dengan: ‘berdialog dan berdiskusi bukan untuk mencari kemenangan, akan tetapi agar patuh dan tunduk terhadap agama untuk mencapai kebenaran.
www.abdain.com
http://hanafie.page.tl/I-h-jaz-al_Qur-h-an
No comments:
Post a Comment
terimakasih komentarnya,, disarankan komentar sopan, dan setiap komentar ditanggung sendiri-sendiri