Saturday 19 January 2013

Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani & Kisah Abu Bakar ra digigit ular



Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani

Syaikh Mustafa lahir di Jombang, 25 Januari 1947. Ia adalah ulama sufi Ahlusunnah Wal Jamaa’ah yang menempuh pendidikan di pesantren Darul ’Ulum Jombang, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Setelah itu, Mustafa, yang kini membimbing 90 zawiyyah thariqat Naqsabandiah Haqqani di Indonesia, melanjutkan studinya ke School of Oriental African Studies (SOAS) University of London, dan Studies Johann Wolfgang Goethe Universitat, Frankfurt Am Mainz, Jerman.

Sebelum mengabdikan 100 persen waktunya untuk dakwah, ia pernah menjadi peneliti di LP3ES,dosen STAN Jakarta, dosen Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dosen Universitas Kebangsaan Malaysia. Pernah juga ia bekerja di Kementerian Belia dan Sukan dan Kuala Lumpur HRDC Trainer Malaysia.

Tahun 1997, ia ditunjuk oleh Maulana Syaikh Nadzim Al Haqqani Ciprus dan Maulana Syaikh Hisyam Kabbani Ar Robbani USA sebagai The Representatif of The Naqsybandi Sufi Order Indonesia.

Sejak saat itu, Syaikh Mustafa melepaskan profesinya dan mendedikasikan seluruh kehidupannya untuk dakwah berkeliling ke seluruh penjuru Indonesia membimbing umat agar mencintai Rasulullah.

Di bawah perintah dan bimbingan Maulana Syaikh Nadzim, metoda dakwah Syaikh Mustafa mengedepankan semangat mencintai Rasulullah SAW, perdamaian, toleransi, cinta, kasing sayang dan persaudaraan.


Dialog Moh Yasir Alimi, PhD, mantan pengurus PCI NU Cabang Istimewa Australia dan New Zealand (2005-2009) tentang jalan kesufian dengan Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani.

Syaikh, terangkan kepadaku apa hakekat thariqat?

Thariqat adalah suatu kebersamaan dengan syaikh, untuk melebur ego, ke dalam suasana adab agar hati yang bersangkutan bisa merasakan arti fana missal fi adhomatil akhirat. Bukan suntuk cuma dengan dunia saja. Thariqat juga tentang azimah, keterkaitan dengan Rasulullah, akhlaknya, sunnahnya, tentang adhomatil Quran; tentang kemaslahatan hidup; tentang iklim saling kecintaan terhadap sesama manusia; tentang barokah kesalehan; tentang pertalian antara hamba dengan Allah; tentang hudhur, tentang getar dalam hati kita akan kehadiran Allah. Inilah antara lain mutiara-mutiara Islam yang makin terasa hilang; maka temukanlah kembalimutiara itu melalui thariqat.

Bisa dijelaskan lagi Syaikh, tentang rasa cinta dan getar di dada itu?

Lihatlah kecintaan dan getar hati Abu Bakar. 1427 tahun yang lalu, ketika Rasulullah harus hijrah ke Madinah. Beliau mengajak Sayidina Abu Bakar, orang yang sangat dekat dengan Beliau untuk menjadi pendamping dalam perjalanan menuju ke Madinah.

Sayidinia Abu Bakar dengan penuh adab yang bersungguh, kata kuncinya dengan "Penuh Adab yang Bersungguh", di ajak ke Madinah. Harusnya dari kediaman Beliau berjalannya adalah ke Utara, karena Madinah secara geografis terletak di Utara dari Mekah, tetapi Rasulullah berjalan menuju ke Tenggara. Sayyidina Abu Bakar boro-boro complain (mengeluh), criticizing, bertanya pun tidak, jare nang Madinah, lha kok ngidul, kenapa lewatTenggara?

Itu cermin apa, Syaihk?

Itu cerminan dari Adab. Dengan penuh kecintaan, Sayyidina Abu Bakar yang lebih tua dari Rasulullah, yang punya kelayakan psikologis untuk mempertanyakan, untuk meminta kejelasan seperti yang barangkali terjadi dalam kehidupan kita sekarang yangmenjadi ruh dari reformasi, segala hal dipertanyakan sehingga batasan antara adab dan tidak adab, luber, hilang.

Sayyidina Abu Bakar tidak bertanya, Beliau ikut saja apa yang dibuat oleh Rasulullah, karena di hati Beliau ada "cinta" dan “percaya" dan sesuatu yang tidak lagi perlu tawar-menawar. Rasulullah Al Amin,tidak pernah keluar dari lidah Beliau sesuatu yang tidak patut tidak dipercaya. Pribadinya penuh pancaran kecintaan. Mencintai dan sangat pantes dicintai.Pribadinya begitu rupa menimbulkan `desire', suatu kerinduan. Ini sebenarnya yang menjadi sangatpenting untuk dijelaskan.

Nabi Muhammad berjalan. Sayidina Abu Bakar mengikuti. Ketika akan sampai, 8 km dari arah Masjidil Haram, baru Sayidina Abu Bakar sadar. "Ooo … Mau istirahat ke Gua Tsur, karena sudah mendekati Gunung Tsur. Ketika Rasulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayidina Abu Bakar.” With no curiousity, tidak dengan rewel, tidak dengan mempertanyakan, memaklumi.

Pertama-tama, dalam Islam yang kita butuhkan bukan`ngerti' syariat, tapi cinta terhadap yang mengajarkannya dan Dzat Maha Suci yang menurunkannya. Tanpa kacamata tersebut, tanpa rasa cinta tersebut, kita tidak akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi "The Matter of Transaction", tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu Bakar. Begitu Rasulullah mau naik ke arah gua, di Jabal Tsur itu, maka kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan, "Oooo … Rasulullah mau istirahat di Gua Tsur."

Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai orang gurun, tidak akan pernah ada lubang bebatuan di gunung, pasti ada ular berbisanya. Itu reason, pikiran digunakan sesudah ‘cinta’, sesudah tulus, sesudah bersedia untuk patuh. Itu namanya pikiran yang well enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan pikiran yang cluthak (tidak senonoh), yang bisa bertingkah macam-macam, menimbulkan problem.

Lantas, apa yang kemudian dilakukan Abu Bakar?

Beliau kemudian mendekati Rasulullah, kasih aku kesempatan masuk. Rasulullah dan Abu Bakar, interespecting, saling menghargai. Sayidina Abu Bakar masuk gua. Gua itu kecil kalau diisi 3. Barangkali sudah kruntelan di situ, kayak bako susur yang dijejel-jejelkan (dimasukkan) ke mulut. Sayidina Abu Bakar masuk, beliau cari, bener ada lubang di situ. Beliau buka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu. Dengan cinta, Beliau korbankan kakinya untuk Rasulullah. Beliau tidak mau Rasulullah digigit ular.

Akhirnya kakinya dicatel (digigit) oleh ular. Kemudian Beliau bilang, “Silakan masuk Rasulullah dengan penuh cinta, dengan penuh pengorbanan dan husnudzon.” Rasul masuk dan berbaring dipaha Abu Bakar. Rupanya Rasulullah terkena angin sepoi-sepoi pagi. Beliau tertidur. Ketika Beliau tertidur, ketika itu pulalah Abu Bakar menahan bisa dari ular yang sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh. Abu Bakar berkeringat, dan diriwiyatkan bahwa keringatnya sudah berisi darah. Tetesan keringat Abu Bakar mengenai Rasulullah.

Bagaimana respon Rasulullah, Syaikh?

"Nangis Sampean?” tanya Rasulullah.
"Tidak,” jawab Abu Bakar, “kakiku digigit ular."
There was something happen. Ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular.
" Hai Tahu nggak Kamu? Jangankan daging, atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram Kamu makan?"

Dialog Rasulullah dengan Ular itu didengar pula oleh Abu Bakar as-Shidiq, berkat mukjizat Beliau.

"Ya aku ngerti Kamu, bahkan sejak ribuan tahun yang lalu ketika Allah mengatakan ‘Barangsiapa memandang kekasih-Ku, Muhammad, fi ainil mahabbah atau dengan mata kecintaan. Aku anggap cukup untuk menggelar dia ke surga,” kata ular.
“Ya Rabb, beri aku kesempatan yang begitu cemerlang dan indah. “Aku (ular) ingin memandang wajah kekasih-Mu fi ainal mahabbah,” lanjut ular.

Apa kata Allah?

"Silakan pergi ke Jabal Tsur, tunggu disana, kekasihKu akan datang pada waktunya,’ jawab Allah.
“Ribuan tahun aku menunggu disini. Aku digodok oleh kerinduan untuk jumpa Engkau, Muhammad. Tapi sekarang ditutup oleh kaki Abu Bakar, maka kugigitlah dia. Aku tidak ada urusan dengan Abu Bakar, aku ingin ketemu Engkau, Wahai Muhammad. "

Apa pesan dari cerita Sayidina Abu Bakar, Syaikh?

Rasa cinta Abu Bakar As-Shiddiq pelajaran yang sangat essential, bukan textual. Cerita tentang Islam seperti terdeskripsi dalam Al-Qur'an, dalam hadits, tidak dapat kita tangkap muatan sebenarnya yang ada di dalamnya bila tidak dengan hati, with no sense, with no heart.

Gaya hidup di dada Abu Bakar dalam bercinta, dalam berkerendahan hati, dalam berketulusan, dalam berkesediaan untuk patuh, dan untuk membuat pengkhidmatan, itu adalah rukun Islam yang tidak tertulis. Semua ini adalah muatan di dalam kehidupan Rasulullah.

Lihatlah kehidupan sekarang. Aku dan kamu setiap hari secara mauqut diberikan kesempatan untuk mengucapkan "Assalamu'alaika ya ayyuhan nabiyyu warahmatullah". Tapi with no sense, with no heart, belum sempat Rasulullah kita pindahkan ke perasaan, ke hati kita, belum sempat akhirat kita hadirkan ke dalam rasa kita Bagaimana aku dan kamu bisa menjadi `abid, bagaimana aku dan kamu menjadi shakir, bagaimana aku dan kamu menjadi muttaqiin dan seterusnya dan seterusnya. Itulah persoalan kita. Maha mulia Allah yang memberi kita rahmat dan taufiq, supaya kita semuanya berkhidmad.

Saya semakin paham maksud Syaikh. Thariqat adalah tentang azimah keterkaitan dengan Rasulullah. Terangkanlah lebih luas lagi kepadaku tentang hal ini agar kepala dan hati kami menjadi terang?

Azimah adalah lawan kata dari ruskhsah, yaitu keringanan, selanjutnya yang enteng, kemudian dalam praktek bias jadi perilaku atau suasana hati yang ngentengin. Ini salah kaprah dalam ibadah. Bisakah tukmaninah dan khusuk dalam bobot enteng-enteng saja, cuma sekilas sambil lalu?

Di situ ada nada yang hilang dan menguap; sejenis kesungguhan, ikhlas, istiqamah, ihsan, hudlur, getar hati. Ini bisa didapatnya melalui thariqat. Nah Rasulullah adalah mainstream kehadiran kita terhadap kehadiran Allah, dalam aneka perspektif yang ada, akhlak, aqidah, syariat, ibadah, sastra. Bukan Al-Quran hadits sendiri.

Kemasannya musti azimah, jangan sampai cuma suplemen, asesoris, cuma seremoni apalagi dikontroversikan sebagai bidah, perlu rumusan paradigm yang benar-benar akurat. Di sini pentingya istighfar di thariqat: min kulli ma yukholiful azimah.

Jadi saat ini pun, kita semestinya senantiasa menjaga pertalian ruhani dan batin terhadap Rasulullah agar mendapatkan rahmat Allah.

Ya Yasir, berangkat dari aturan dalam tahiyat shalat, kita diniscayakan untuk direct communication dengan beliau, apakah telah cukup kadar esoteric dan kesungguhan dalam bersalaman kepada beliau? Di tharikat ini justru dijadikan urat nadi ibadah kita, bahkan hidup kita pada dasarnya dan secara menyeluruh bertumpu pada Rasulullah. Ini merujuk pada hadis Qudsi.

Hadits pertama, Ya Muhammad Aku berkenan untuk mencipta manusia, walau mereka suka seenak sendiri, Aku menjadikan mereka pilihan-Ku karena itu mereka Kuserahkan dan Kutitipkan kepadamu Muhammad, sentuhlah qalbu mereka olehmu agar tak ngaco-ngaco banget, kembalikan mereka kelak pada-Ku di akherat dalam keadaan fitri sebagaimana ketika Kuserahkan padamu”.

Hadis Qudsi kedua. Suatu ketika Rasulullah memampak sosok yang tak beliau kenali, padahal beliau paham semua orang, maka sabda beliau:
“Siapa kamu?”
“Aku Iblis” tukas orang asing itu.
“Lho kok ngaku biasanya kan kamu menipu?” Tanya Rasulullah.
“Aku diperintah Allah untuk datang kepadamu dan menjawab secara benar”.
“Ooo.. “siapa yang paling tak kamu sukai?” tanya Nabi.
“Kamu,” jawab iblis tegas.
“Kenapa,” tanya Rasulullah.
“Orang yang bersama Kamu tak dapat kugoda,” jawab iblis.

Banyak orang sulit memahami ini karena menganggap Rasulullah sudah mati, Syaikh?

Yang mati kita, bukan Rasulullah.

Sumber:

www.nu.or.id

http://ahadan.blogspot.com/2012/10/kisah-abu-bakar-digigit-ular-dialog-sufi.html

Tokoh-Tokoh Ahlussunnah Wal Jama'ah Dari Masa Ke Masa

oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada 3 Januari 2013 pukul 16:11 ·

 Sesungguhnya keutamaan, kemuliaan dan keagungan para pengikut adalah menunjukan keagungan orang yang diikutinya. Seluruh ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah adalah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, atau pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Dengan demikian tidak disangsikan lagi bahwa kedua Imam ini adalah sebagai penegak tonggak dasar dari berkibarnya bendera Ahlssunnah, yang oleh karenanya kedua Imam ini memiliki keutamaan dan kemuliaan yang sangat agung.

Sebagaimana telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Islam. Ini berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan meliputi berbagai sosok agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa. Melakukan “sensus” terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya menuliskannya dalam satu jilid buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun. Sebagaimana anda lihat sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama terdahulu yang ditulis dalam mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah, termasuk dalam hal ini penulisan biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu sesuai disiplin mereka masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas ahli hadists, para ahli tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan ulama-ulama yang telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari.

Di antara karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-Hâfizh Abu al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan pula beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.

Karya lainnya adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari Qâdlî al-Qudlât al-Imâm al-Mujtahid Taqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid, berisi penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi’i. Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini adalah para pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam bukunya ini al-Imâm Tajuddin membuat pasal khusus dalam penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Berikut ini kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil besar dalam penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi turunnya segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât”. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal berkata tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn Sulaim: “Dia (Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya maka hujan akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh berikut ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.

A.    Angkatan Pertama
Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka yang belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya: Abu al-Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H), Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-Naqqasy (w 379 H), Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w 382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah seorang sufi ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w 389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-Shufi  (w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.

B.    Angkatan Ke Dua
Di antara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H), Abu Nashr ibn Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn Abi Sahl ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Sa’ad al-Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’ (w 430 H), Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan al-Maliki, Abu al-Fadl al-Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad ibn at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.

C.    Angkatan Ke Tiga
Di antaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-Naisaburi, Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu Thahir ibn Khurasyah, Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H), Abu al-Qasim ibn Abi Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani al-Hanafi, Abu Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-Razi, Abu Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-Qasim Abd al-Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi; penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran al-Fasi.

D.    Angkatan Ke Empat
Di antaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465 H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini  penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w 478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-Tunusi al-Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih al-Hanafi.

E.    Angkatan Ke Lima
Di antaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi Shalih al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w 538 H) penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini, Nashrullah al-Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).

F.    Angkatan Ke Enam
Di antaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-Amidi (w 631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr ibn al-Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H) pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn Daqiq al-Ied (w 702 H), Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib, Jamaluddin az-Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Ibn Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w 671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676 H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H), al-Hâfizh Ahmad ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).

G.    Angkatan Ke Tujuh
al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H), Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H), Amîr al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879 H), Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab tafsir Nazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).

H.   Angkatan ke Delapan 
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H), Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-Anshari (w 926 H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).

I.   Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla Ali al-Qari (w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani; penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad ibn Abd al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir; penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-Barâhîn (w 1230 H), Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H).

Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad 12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya, maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup menghitung jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? kita akan membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang.



Pimpinan kaum Asy'ariyyah di masa sekarang; al Muhaddits al Hafizh al Imam as Sulthan asy Syaikh Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf al Harari asy Syaibiy al Abdari; yang dikenal dengan al Habasyi (Rahimahullah Ta'la)

Nasrudin Hoya dan Abu Nawas

 

A. Nashrudin Hoja

Nashrudin Hoja merupakan tokoh kocak pada kisah sufistik yang dikenal di seluruh dunia, terutama di negara-negara berpenduduk Muslim. Setiap kisah selalu menampilakannya dalam kondisi yang berbeda-beda melalui ide dan cara pandang humoris dan mengekspos komentar berani namun kocak dan penuh dengan hidup. Yang paling menarik dari cerita-cerita tokoh ini adalah meski lucu namun sarat dengan makna filosofis, sufistik; menggelitik nalar dan hati nurani.
Menurut berbagai sumber, sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol ini merupakan seorang filosof yang bijak dan penuh dengan cita rasa humor. Kisah-kisah Nasrudin telah dikenal hampir di seluruh belahan dunia. Tentu saja, seluruh kisah tentang Hoja dengan rentang waktu lebih dari 7 abad, tidak semua asli darinya. Kebanyakan merupakan produk budaya humor secara kolektif bukan hanya dari Budaya Turki tapi juga dari masyarakat Islam lainnya. Meski begitu dikenal, Hoja merupakan tokoh yang masih diperdebatkan keberdaanya antara fiktif dan sejarah. Banyak teori tentang biografinya, namun sayangnya belum cukup memberikan data yang valid.
Sejak Abad ke-16, tokoh ini semakin populer karena ia menawarkan alternatif kepada masyarakat yang mulai bosan terhadap segala hal sifatnya formal dan kaku. Kisah tentang Nashrudin Hoja pada awalnya ditemukan dalam beberapa manuskrip pada awal abad ke-15. Cerita pertama ditemukan dalam Ebu'l-Khayr-i Rumis Saltuk-name (1480). Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Nashrudin merupakan murid sufi dari Sayyid Mahmud Hayrani di Aksehir, barat laut Turki modern.
Pada abad ke-19, Mufti Sivrihisar, Husein Efendi, menulis dalam Mecmua-i Maarif bahwa Nashrudin lahir pada 1208 di desa Hortu (sekarang disebut Nasreddin Hoca Koyu) bagian dari Sivrihisar dan meninggal 1284 di Aksehir, setelah hijrah ke sana. Menurut sumber ini, Hoja belajar di Sivrihisar dan madrasah Konya. Hoja belajar fiqh serta belajar tasawuf langsung pada Maulana Jalaluddin ar-Rumi (1207-1273) di Konya. Kemudian Hoja mengikuti Sayyid Mahmud Hayrani, sebagi guru sufi keduanya, hijrah ke Aksehir dan menikah di sana.
Konon, Sewaktu masih muda, Nasrudin selalu membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: “Kelak ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apapun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu.” Ramalan pun menjadi kenyataan.
Di Aksehir, Hoja menjadi Imam dan Hakim. Karena rasa humor yang tinggi dan ulasan-ulasanya yang cemerlang, ia menjadi sangat tersohor dan terkemuka di kota itu.
Kisah-kisah Nasrudin Hoja dikenal di seluruh Timur Tengah yang tentu kemudian diwarnai dengan budaya di mana cerita itu berkembang. Yang jelas, kebanyakan kisah Nasrudin diceritakan sebagai kisah lucu dan anekdot. Kisah-kisah ini tidak henti-hentinya diceritakan baik di kafe, di tempat orang-orang berkumpul untuk ngobrol, serta di rumah sebagi bahan cerita untuk anak. Meski begitu akrabnya kisah Hoja dengan masyarakat, satu karakter yang tetap melekat pada kisah Hoja ini adalah inti yang terkandung dari kisah lucu tersebut hanya orang-orang pada level inteletual tertentu yang mampu memahaminya. Kisah-kisah lucu namun kaya akan pesan moral, biasanya bahkan penuh dengan pesan-pesan spiritual yang mencerahkan dan tak jarang juga memuat perilaku dan jalan menuju maqam makrifatullah. Karena itulah, tak jarang kisah-kisah Hoja ini menjadi materi pengajian sufi.
Kisah-kisah Hoja juga sarat dengan sindiran dan kritik yang cukup berani terhadap tirani dan kekuasan serta ketimpangan sosial dan egoisme elit. Karena itulah, Nasrudin merupakan simbol keberanian, penentangan, sarkastis, ironis, dan komedi kritis di Timur Tengah.
Di Indonesia, kemasyhuran Nasrudin Hoja hampir tidak kalah dengan Abu Nawas. Di tengah dahaga kaum Muslim Indonesia akan nilai-nilai spiritual, beberapa buku yang memuat kisah-kisah Nasrudin Hoja pun laris manis di pasaran.
Nashrudin Hoja adalah legenda dari masa kejayaan Islam pada periode abad ke-13. Legendanya tersebar dari mulai Turki, Persia, sampai ke pecahan negara-negara Soviet yang warganya banyak menganut Islam, seperti Tajikistan atau Kazakhstan.
Ada banyak versi tentang asal kelahiran Nashrudin. Tapi semua versi rata-rata memang mengiyakan kalau ia hidup di abad ke-13. Sumber tertua tentang kehidupan Nashrudin ini termuat dalam buku terbitan tahun 1480 yang berjudul Saltukname.
Dalam buku itu disebutkan kalau Nashrudin di Sivrihisar, salah satu kawasan di Turki, pada 1208. Dari situ ia berkelana ke banyak tempat sampai akhirnya ia wafat pada 1284. Ada yang menyebutkan ia wafat di Konya, kota penting dalam tradisi sufisme dan mistisme Islam, karena di sanalah Jalaluddin Rumi membangun dan mendirikan thariqah Maulawiyah, yang terkenal dengan tarian sama’nya yang berputar-putar (dengan kedua tangan merentang ke samping, satu telapak tangan menghadap ke atas, satu telapak tengan menghadap ke bawah).
Hoja yang ada di belakang nama Nashrudin sendiri kurang lebih berarti teacher atau scholar. Sedemikian populernya karakter Nashrudin, sampai-sampai di Turki pada setiap bulan Juli digelar “International Nashrudin Hoja Festival”. Pada 1996-1997, UNESCO pernah mendeklarasikan tahun itu sebagai “International Nasruddin Year”.
Kisah-kisah Nashrudin yang kita baca dan kita dengar kemungkinan diambil dari kompilasi kisah-kisah yang dikumpulkan penulis Afghanistan, Idris Shah, yang sempat menerbitkan tiga volume buku tentang kisah-kisahnya.
Paulo Coelho, dari wawancaranya di New York Book Review beberapa tahun lalu, menyebut Nashrudin sebagai “Si Bijak dari Timur”.
Bagi kalangan Islam, terutama mereka yang aktif sebagai penghayat sufisme dalam pelbagai thareqah, kisah-kisah Nashrudin sering digunakan sebagai alegori dalam pengajaran-pengajaran sufisme. Salah satu ciri dari pengajaran sufisme memang terletak pada –selain menekankan pada laku alias praktik– penyampaian-penyampaian nilai-nilai agama melalui kisah, anekdot, alegori, fabel dan yang sejenisnya, ketimbang menggunakan teori-teori al-Falasifa yang dikembangkan para failasuf.


B. Abu Nawas

Riwayat Abu Nawas/Abu Nuwas ini jauh lebih seru daripada Nashrudin. Yang mengherankan, kenapa Abu Nawas dikesankan sebagai seorang yang cenderung konyol, orang bijak yang senang bermain-main atau memain-mainkan nasehat, atau guru sufi yang “sangat saleh” atau yang sejenisnya. Lebih dari sekadar itu, ia adalah seorang pemberontak pada masanya, mungkin seperti Marquis de Sade pada era Napoleon yang bengalnya ga ketulungan (kata “sado” –yang berarti “sadis”– dalam frase sado-masokis diambil dari namanya).
Abu Nawas memang bisa ditemukan dalam salah satu versi cerita “1001 Malam”. Perlu diingat, kisah 1001 Malam itu ditulis tidak sekali jadi, bahkan plot awalnya dipercaya sudah muncul sejak masa pra-Islam. Selanjutnya, kisah itu berkembang sedemikian rupa, di banyak wilayah, dengan melibatkan banyak penulis dan pujangga, dengan versi yang juga beragam. Nah, Abu Nawas masuk dalam salah satu versi itu.
Tapi menganggap Abu Nawas sebagai tokoh fiksi jelas keliru. Abu Nawas adalah sosok historis, benar-benar ada, pernah hidup. Ia diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-8, antara tahun 740 sampai 760-an, kira-kira seabad setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Ayahnya anggota tentara Marwan II, angkatan perang terakhir Umayah, berdarah Arab, sementara ibunya berasal dari Persia. Arab dan Persia merupakan dua kebudayaan besar yang punya tradisi susastra yang kuat dan panjang, sehingga –tidak bisa tidak– Tuhan pun harus menurunkan al-Qur’an dengan capaian nilai sastra yang adiluhung, sebab jika tidak, al-Qur’an akan dengan mudah dilecehkan sebagai tak lebih dari syair picisan.
Dalam situasi itulah Abu Nawas tumbuh dengan minat yang besar dalam bidang bahasa dan sastra. Ketika menetap di Baghdad, ia sudah matang sebagai penyair dan cendekiawan. Kisah-kisah di mana Abu Nawas yang sering berdialog atau ngerjain sultan, kemungkinan terjadi di Baghdad ini, karena ia dipercaya memang akrab dengan Khalifah Harun ar-Rasyid, atau bahkan dianggap sebagai penyair kesayangan Khalifah.
Sutardji Calzoum Bachri yang dulu demen mabok pas baca puisi, bisa dibilang ndak ada apa-apanya dibandingkan dengan Abu Nawas. Abu Nawas dikenal sebagai penyair yang senang mabok, pesta-pora dengan anggur dan khamr.
Salah satu kisah legendaris menyebut Abu Nawas pernah kedapatan tepar di jalan raya tepat saat Khalifah lewat bersama salah satu istrinya. Ini membuat Khalifah malu bukan kepalang karena penyair kesayangannya bertingkah gila-gilaan macam itu. Biar bagaimana pun, pada saat itu, juga hingga sekarang, khamr memang dilarang dalam standar kode hukum Islam.
Nah, di situlah salah satu lapis kehidupan Abu Nawas yang tak banyak diketahui orang. Kehidupan Abu Nawas dan puisi-puisinya penuh dengan perayaan hidup yang untuk masanya bisa dianggap hedonis. Ia senang mabuk-mabukan. Bukan hanya itu, ia juga salah seorang yang dianggap menganjurkan perayaan seksual, termasuk hubungan sejenis kelamin.
Ada banyak riwayat yang mengisahkan kisah cinta Abu Nawas dengan beberapa anak lelaki. Semua itu banyak ditemukan dalam puisi-puisinya. Dalam buku puisi Perfumed Garden karangannya, mudah sekali ditemukan nuansa-nuansa yang menggambarkan hubungan seksual, termasuk hubungan sejenis.
Dari esai Javad Nurbhaks di jurnal Kalam, mungkin Abu Nawas adalah penyair Arab pertama yang sudah menyebut masturbasi dalam puisi-puisinya. Tapi ini pasti satu tradisi yang sudah panjang, karena bahkan Yesus dari Nazareth pun minum anggur pada saat perjamuan terakhir dan anggur (bukan tradisi penyimpangan seksualnya) juga menjadi salah satu komponen penting dalam sejumlah ritual ibadah umat Nasrani.
Tidak mengherankan, saat rezim berganti, ia pun akhirnya mengalami pengasingan. Bukan hanya Khalifah yang baru tidak senang padanya, tapi saudaranya juga ada yang jengah dengan keliaran hidup seorang Abu Nawas.
Khamr dan hubungan intim sejenis sebenarnya bukan tema yang asing. Sudah biasa dalam tradisi sufi, anggur menjadi bagian tak terpisahkan. Anggur dianggap sebagai alegori dari kenikmatan penyatuan dengan yang serba surgawi. Jalaluddin Rumi itu senang sekali dengan anggur. Anggur bertaburan dalam puisi panjangnya yang dahsyat dan terkenal itu, al-Mastnawi
Sudah sangat biasa pula para sufi luntang-lantung dengan murid-murid laki-lakinya. Rumi lagi-lagi jadi kisah paling ilustratif tentang ini. Hubungannya dengan tiga guru utamanya, terutama guru pertamanya yaitu Syams dari Tabriz, sangatlah intim. Sampai-sampai, saat Syams menghilang dari Konya, Rumi benar-benar patah hati, kerjaannya cuma nyanyi-nyanyi dan menari-nari di jalanan Konya. Ia ndak mau ngajar murid-muridnya yang lain. Saat Syams kembali, pulihlah normalistas kehidupan Rumi. Saat Rumi sedang mengerjakan karya agung al-Matsnawi, Rumi saat itu sudah ditinggal Syams kembali berkelana dan “berguru” pada Hisyamuddin. Saat Hisyamuddin kembali ke kampungnya selama beberapa waktu, Rumi tiba-tiba jadi stuck dan ndak bisa menulis al-Mastnawi lagi.
Salah satu penyair Arab yang terpengaruhi oleh Abu Nawas adalah Omar Khayam, yang berhasil mempopulerkan genre puisi rubayyat yang pada masanya dianggap syair-syair picisan. Jika merujuk novel sejarah tentang Khayam yang ditulis Amin Maalouf (sudah diterjemahkan oleh penerbit Serambi), di situ Khayam seperti Abu Nawas, seorang cendekiawan dan penyair yang free thinker, senang minum anggur, dan menjalin kisah asmara nan menggelora dengan –kali ini normal– seorang perempuan di luar pernikahan.


Siapakah Abu Nawas?

Ilaahii lastu lilfirdausi ahlan # Walaa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi...
Fahab lii tawbatan waghfir dzunuubii # Fainnaka ghaafirudzdzanbil adziimi...
“Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus) # Namun, hamba juga tidak kuat menahan panasnya api neraka...
Maka berilah hamba taubat dan ampunilah hamba atas dosa-dosa hamba # Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosan yang besar...”

Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Shubuh, jamaah di masjid-masjid atau mushalla di pedesaan biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah 1001 Malam.
Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas (Bahasa Arab:ابونواس) juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Mirip dengan Nashrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun ar-Rasyid di Baghdad (806-814 M).
Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan kenyentrikkannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia menemukan kehidupan rohaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi, inspirasi puisinya bukan lagi khamr, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai penyair sufi yang tiada banding.
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai spiritual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun ar-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wausuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun ar-Rasyid meninggal dan digantikan oleh al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun ar-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan –tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meninggalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Naubakhti –yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menjelang sakaratul mautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan: “Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama.”
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.

Refferensi:
• Diwan Abu Nuwas
• Al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi
• Kisah-kisah Sufi, Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau, Idries Shah.
• Dari esai Javad Nurbhaks di jurnal Kalam
• Buku puisi Perfumed Garden
• Mecmua-i Maarif, Mufti Sivrihisar Husein Efendi
• Buku Kisah “1001 Malam”
• Buku Classic Saltukname (Ebu'l-Khayr-i Rumis Saltuk-name)
http://sufinews.com/
http://www.republika.co.id/


Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 10 Muharram 1434 H

Friday 18 January 2013

Gus Yunus dan Gus Yusuf

Sebuah CERPEN yang diilhami dari kisah nyata.
Judul:.

Kelak kita akan berpisah, untuk mengenang persahabatan yang telah lama kita jalin selama di pondok, aku akan menggunakan nama pemberianmu dan kau menerima nama pemberianku sebagai nama anak kita kelak.” sumbar  Kyai Salak tiga puluh tahun lalu, tapi baru teringat kembali di ingatan Kyai Masyhuri belakangan ini, setelah baru dikaruniai anak pertamanya dari jalinan kasih sayang  dengan Bu Nyai Latifah selama 10 tahun.
Bayi mungil yang baru lahir tiga hari yang lalu itu terus dipandangi oleh Kyai Masyhuri, sampai ia tersenyum sendiri ketika melihat hidung mancung bayi laki-lakinya. “Bu, bayi ini kelak akan jadi anak luar biasa.” ucap kyai pada istrinya.
“Luar biasa gimana tho?” tanya Bu Nyai Latifah penasaran.
Ya, kayak mbahnya dulu,” sambil menggendong bayinya, lalu ia duduk di atas kursi yang biasa ia gunakan untuk menemui para tamunya.
“Nak, wajahmu benar-benar mirip mbahmu, pasti keistimewaanmu juga tak jauh darinya.” Suara ini masuk telinga kanan bayi yang masih belum punya nama itu, seakan-akan bayi itu mengerti dan paham omongan abahnya, Kyai Masyhuri.
“Amiiin.” Sahut Bu Nyai Latifah yang ada disampingnya. 
“Besok tanggal 12 Maret kita adakan acara Aqiqah dan walimah tasmiyah ya Bah?”  pinta bu nyai pada abah, nama panggilan yang sering dilontarkan untuk suaminya, Kyai Masyhuri.
Inggih, bu, tapi….” Perkataan kyai Masyhuri terputus dan ia langsung  meletakkan bayinya di kasur, tempat istirahat.
“Tapi kenapa Bah? Penasaran.
“Abah, tidak bisa menuruti permintaan sampeyan saat usia kandungan ibu genap 8 bulan lalu, ibu inginya nama anak kita kalau laki-laki, Harun, dan kalau perempuan, Aisyah.”
“Maksudnya gimana toh Bah, aku kok gak paham!” dengan nada agak kecewa bu nyai terus menunggu penjelasan suaminya.
“Abah tidak pernah cerita pada sampeyan, kalau dulu abah pernah punya teman akrab saat masih di pondok dan punya perjanjian.” ujar Kyai Masyhuri panjang lebar tentang masa lalunya.
Persahabatan saat Masyhuri kecil; masih di pesantren dulu penuh kenangan, hingga di mana saja kaki Masyhuri berpijak, disitulah Safak, teman karibnya ikut bersamanya. Persahabatanya sangatlah erat, hingga pada suatu hari, ketika Safak dan Masyhuri  sedang asyik menghafal nadlom Al Fiyah 1002 bait di kebun rumput gajah milik pengasuh yang sengaja ditanam di samping kandang sapi, di tempat penuh hijau daun yang bergoyang-goyang menanyikan bait-bait agung dan di bawah biru langit yang sangat bersahabat itulah Safak melingkarkan jari kelingkingnya pada jari Masyhuri. Safak berkata, “Aku sengaja mengucapkan janjiku ini tak lain untuk mengenang kehidupan kita pada 30 tahun ke depan, karena aku takut kalau kelak setelah kita keluar dari pondok  jalinan persahabatan kita putus karena jarak, maka hari ini aku akan memberikanmu nama, ‘YUNUS’ sebagai nama anakmu kelak.” ucapnya penuh yakin dan ia menatap wajah Masyhuri, “Nama apa yang akan kau berikan untuk anakku kelak? Tanya Safak sembari menutup sampul Al Fiyah Ibnu Malik. Tak lama, hanya hitungan detik Masyhuri menjawab. “YUSUF, itu pantas untuk nama anakmu kelak, sama-sama nama Nabi”. Tak lama setelah perjanjian di kebun bersejarah itu, sekitar 15 tahun kemudian dua santri ini lulus dan pulang ke kampung halaman.
Mendengar penjelasan suaminya, Bu Nyai Latifah manggut-manggut, “Dengan taat kepada suami, ibu setuju dengan permintaan abah kalau anak pertama kita Yunus, tapi ibu minta pada anak  kedua kelak,  nama pemberian Ibu; Harun atau Aisyah harus digunakan!”
Inggih Bu.” Jawab Kyai Masyhuri dengan tanpa ragu.
                                                                        ***
Lima belas tahun telah berlalu, Gus Yunus; sebutan akrab putra Kyai Masyhuri pengasuh pondok Al Yatama ini biasa dipanggil para santri-santri; anak-anak yatim pondok Al Yatama. Tak terasa kini Gus Yunus telah berusia 14 tahun, sesuai wasiat kakeknya, Mbah Masyhari. Kelak saat umur cucunya genap 14 tahun harus dimasukkan ke pondok, wasiat inilah yang disampaikan Mbah Masyhari kakek Gus Yunus kepada abahnya, Kyai Masyhuri, tepatnya satu bulan sebelum wafat. Wasiat kyai istimewa yang ada di kampung tempat pondok Al yatama berdiri. Diceritakan konon ketika kyai Masyhari tirakat, tak tanggung-tanggung, selain tidak makan lauk  yang bernyawa selama 5 tahun; makan tumbuh-tumbuhan, juga sering jalan kaki setiap menggunjungi makam-makam wali di seluruh penjuru tanah jawa, hanya ditemani alas kaki terbuat dari kayu. Klompen. Tak heran jika pendiri pondok Al Yatama ini punya keistimewaan luar biasa, sehingga tamu-tamunya tak pernah sepi untuk minta barokah doa dan amalan-amalan.
Suatu malam, di keheningan yang larut, tak ada mendung dan tak ada suara cericitan kelalawar yang biasanya sering mengusik penduduk sekitar dengan suaranya saat menyantap buah mangga depan rumah warga, sajadah bergambar masjid Nabawi terbentang, tiba-tiba suara mengejutkan.
 Tok, to, tok.” suara orang mengetuk pintu ndalem Kyai Masyhuri terdengar dari dalam.
“Siapa ya?, tunggu sebenta.r” ucap Bu Nyai Latifah dari dalam rumah; masih mengenakan mukena, beliaupun berjalan menuju pintu depan.
“Siapa ya, malam-malam begini ngetuk pintu.” Ujarnya sebelum membuka gagang pintu.
Tak ada orang yang ia lihat saat pintu terbuka, dia masuk kamar lagi dan meneruskan bermunajat di sepertiga malam, baru dapat dua puluh menit dia membaca amalanya setelah sholat malam usai, terdengar ketukan kedua kali dari luar, malah bunyinya lebih keras meskipun lebih sedikit ketukannya. Tak banyak pikir, Bu Nyai Latifahpun langsung menuju pintu sembari tanganya masih memegang wirid.
“Kriettt, suara pintu terbuka, Bu nyai Latifah celingukan melihat depan rumah, tak ada satu orangpun yang nampak, tapi sebelum menutup pintu, matanya Bu Nyai melihat 1 kardus Mie instan tergeletak di dekat pot bunga. Bu Nyai Latifah tidak habis pikir, dia langsung mengambil dan meletakkan kardus mie itu di dekat TV ruang tamu, dikira itu pemberian Haji Shabirin pemilik  toko Makmur depan rumah pak RT yang rutin bersedekah untuk santri-santri anak yatim yang tinggal di asrama pondok Al Yatama.
Malam itu Bu Nyai sendirian, Kyai Masyhuri sedang keluar kota memenuhi undangan. Tak lama, habis melanjutkan bacaan wiridnya, Bu Nyai tidur, menunggu adzan shubuh.
“As Sholatu khorun min annaum”, suara merdu inilah yang selalu membangunkan Bu Nyai dan keluarga ndalem Pondok Al Yatama, maklum suara emas ini milik Hamid, santri putra umur 12 tahun yang ditinggal mati bapak-ibunya saat mengais rizki di negeri tetangga.
Setelah usai wudlu, Bu Nyai menuju mushola untuk sholat shubuh berjamaah, shubuh ini Kang  Ilham yang menjadi badal Kyai Masyhuri.  Usai sholat, saat Kang Ilham berjalan menuju depan mushola, Bu Nyai Latifah memanggil kang Ilham, ketua keamanan pondok Al Yatama.
“Tadi malam, ada tamu yang masuk pondok?” tanya Bu Nyai dengan berdiri di depan para santri-santri putri yang masih memakai mukena merk Denisa.
Kirangan, ketingale mboten wonten.” jawab kang Ilham dengan logat jawa tengah yang kental sembari menggeleng kepala.
“Kok ada Mie di depan rumah?” tanyanya lagi pada pengurus tertua ini.
Kang Ilham kembali menggeleng, dan Bu Nyaipun langsung kundur ke ndalem.
                                                            ***
Kejadian aneh yang dialami Bu Nyai dua minggu yang lalu telah lewat. Baru saja beliau akan menanyakan kejadian aneh itu pada Kyai Masyhuri, suaminya. Tapi, terdengar suara membuyarkan niatnya, “Tok,tok,tok, Assalamualaikum.” salam itu terucap dari bibir orang yang tak asing bagi keluarga ndalem, Kang Saparun, pengurus Masjid As Salam yang tak jauh dari pondok Al Yatama.
Kedatangan tamu rutinan ini tak lain untuk mengundang Kyai Masyhuri untuk mengisi pengajian rutinan setiap malam kamis akhir bulan Rajab, “Kyai bisa hadir?” tanya Kang Saparun dengan nada seperti biasannya. Gagap.
Jawab kyai, “Insya Allah, habis dari Masjid As Salam, sampeyan bisa nemani saya ke Pondok Al Munir, sambang Yunus, sudah dua bulan tak kesana, katanya uangnya habis.” Jawab Kyai sekaligus mengajak Kang Saparun sambang putra satu-satunya.
            “Insya Allah, Kyai.” Jawab Kang Saparun.
Sesuai wasiat Mbah Masyhari, ketika genap 14 tahun Gus Yunus dipondokkan di pondok yang telah ditunjuk oleh mbahnya sendiri, pondok Al Munir yang berlokasi di jantung kota Muria.
Hari yang ditunggu datang, usai memberikan ceramah di Masjid As Salam, Kang Saparun ikut mobil kijang biru tua menuju pegunungan Muria, tempat Gus Yunus menimba ilmu.
Perjalanan dari kota tempat Kyai Masyhuri sampai pondok  Al Munir  sangatlah jauh, ditempuh waktu 1 hari untuk sampai sana.
Dalam setiap perjalanan, Bu Nyai yang ada di rumah tak habis-habis mengucapkan doa untuk suaminya yang sedang perjalanan jauh, karena jalan yang menanjak dan berlubang di areal gunung Muria. Saking capeknya, Bu nyai, akhirnya tertidur di sebelah ruang yang biasa ia gunakan menjahit. Tidurnya cukup nyenyak, maklum seharian penuh beliau mengurus keperluan anak-anak yatim. Ketika jarum jam berada di angka dua dini hari, ia terbangun karena terdengar suara, ketukan pintu.
Mungkin lupa akan jauhnya perjalanan suaminya untuk sampai pondok  Al Munir, karena belum sepenuhnya sadar, dia langsung menuju pintu, yang dikiranya Kyai Masyhuri, suaminya.
Ternyata kosong dan gelap. Tak ada orang yang tampak mata, iapun melihat kejadian seperti kejadian dua minggu yang lalu. Kembali matanya melihat mie instan di dekat pot bunga kamboja, aneh, jumlahnya tambah banyak, 5 tumpuk mie instan.
“Kang Ilham, kang Ilham, tolong kesini.” Panggil Bu Nyai
Tak lama kang Ilham datang, “ini mie siapa?”
Kang ilham tak berubah, sama seperti dua minggu yang lalu. Menggeleng kepala.
“Ya udah, pindah mie ini ke kantor pondok, besok kalau abah sudah datang, biar tak tanya aja.” usai menyuruh, beliaupun masuk rumah dan bergumam dalam hati. Aneh!, setiap abah tidak di rumah pasti ada yang mengantarkan mie tengah malam.
                                                                        ***
Mobil kijang biru berhenti persis depan gedung SMA  Al Munir, kyai Masyhuri langsung menuju asrama Yunus, sesampai asrama kyai Masyhuri masih menunggu di ruangan 3x4 m yang berdekatan dengan kamar putranya, waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB, semua santri masih belajar di sekolah. Tak lama kemudian.
Bel pulang sekolah berbunyi, tapi sosok anaknya belum kelihatan, satu persatu santri diamati oleh Kyai Masyhuri, tetap tidak dijumpai.
Kyai Masyhuri dan Kang Saparun langsung menuju gedung SMA Al Munir, mencari keberadaan Gus Yunus.
Satu persatu ruang kelas dilewati, tepat di ruang kelas yang berada di samping kantor, Kyai Masyhuri terkejut.
“Nak, bangun nak, bangun,” suara kyai membangunkan putranya yang nyenyak tidur di atas bangku, tanpa ragu Yunus langsung mencium tangan abahnya, meskipun dia masih belum sepenuhnya sadar.
Pemandangan ini tak aneh bagi Yunus, maklum tiap malam dia tak pernah tidur, keliling pondok dan begadang. Tak heran jika tiap waktunya belajar, dia tidur pulas di bangkunya. Qodlo’ tidur.
Seusai menyelipkan amplop di saku Gus Yunus, abahnya pamit pulang, tak banyak pesan yang disampaikan, hanya “ANAK SINGA HARUS JADI SINGA”. Cukup.
                                                                        ***

“Assalamualaikum,” ucap guru muda yang penuh inspirasi di ruang kelas 1 SMA. Al Munir
Serempak siswa-siswi menjawab dengan semangat. Waalaikumsalam”.
Seperti biasa, hanya satu siswa yang tak menjawab, Yunus.
Yunus dan Yusuf memang putra seorang Kyai;Gus. Tapi teman-temanya tak ada yang tahu sosok di balik layar seorang Yunus dan Yusuf, hanya Laila yang tahu. Seorang gadis cantik yang tahu akan ke-Gus-annya Yunus karena dia adalah pengagum keluarga Mbah Masyhari; termasuk juga Gus Yunus. Maklum laila punya adik laki-laki; Hamid muadzin kecil pemilik suara emas yang diasuh oleh keluarga pondok Al Yatama, pondok abahnya Gus Yunus. Adik laki-laki inilah yang sering memberi informasi tentang Gus Yunus kepada Laila. Sehingga Laila lebih mencintai Gus Yunus karena KEISTIMEWAANYA, dibanding dengan Gus Yusuf yang terkenal BANDELNYA.
Salam kedua kembali terucap dari bibir Pak Syahid, lagi-lagi Yunus tetap nyenyak tidur di bangku pojok belakang bangku Aziz dan Aang.
“Bangun Gus,” suara laila yang membangunkan Yunus dari tidurnya saat jam pertama.
Setelah bangun, Yunus hanya tersenyum tipis dan kembali meletakkan kepalanya di atas bangku, dan tiba-tiba.
“Plaaak, tangan kekar Yusuf menghampiri pipi Yunus,” hanya kesakitan yang dirasakan, dia tetap nyenyak.
“Kalau berani, tampar pipi saya!” bentak Laila pada Yusuf seketika. Dia tak tega melihat Gus kesayangannya ditampar oleh Yusuf, siswa bandel se kelasnya.
“Sudah, sudah, “ Pak Syahid melarai.
Dalam hati Yusuf hanya ada rasa malu, atas kejadian yang dilakukan kepada Yunus, malu kepada Laila, bukan kepada Pak Syahid. Maklum, karena Laila adalah perempuan idaman Yusuf selama ini, meskipun pada dasarnya sudah berkali-kali Laila menolak cintanya, Yusuf tetap mengejar-ngejar hati gadis yang pernah jadi pemenang olimpiade matematika tingkat SMA se-kecamatan ini.
Pelajaran Tauhid yang disampaikan  Pak Syahid terus berlanjut, hingga Pak Syahid merogoh sakunya yang berisi amplop.
“Seratus ribu, untuk kalian”. “Gampang, bisa jawab perntanyaanku, ambil uang ini.” Pak Syahid tak ragu-ragu memberikan hadiah dari sebagian uang gajianya kepada siswa-siswanya.
“Gus, ada pertanyaan dari Pak Syahid, ayo bangun dan jawab.” suara Laila membangunkan Gus Yunus.
“Seratus ribu Gus!” Liala kembali mengiming-imingi Gus Yunus.
“Gak mungkin ada yang bisa jawab apalagi Yunus.” Teriak Yusuf dengan lantang, kemudian disahut teman-teman satu kelasnya.
“Kami yang bangun aja tidak paham, apalagi yang tidur.”  semua siswa tertawa mendengar ucapan anak buah geng Yusuf.
Seisi kelas sering tertipu dengan pertanyaan Pak Syahid, pertanyaanya selalu sulit terjawab.
Man Fauqo Ar Rosul Illa Allahu?” belum sempat Pak Syahid menunjuk anak yang dianggap pandai, Yunus yang masih mengusap matanya habis bangun tidur langsung menjawab.
“Tidak ada.” Jawaban Gus Yunus disambut tawa ramai oleh teman-temanya. Jawaban Yunus singkat, tapi Pak Syahid sudah mafhum; bahwa yang termulia di atasnya Nabi Muhammad kecuali Allah: tidak ada, yang termulia pertama adalah Allah, kemudian Rosul; Nabi Muhammad. Yang termulia di atas Nabi Muhammad hanya Allah, tak ada yang lain selain-NYA.
“Ini uangnya, ambil!, jawabanmu benar,”
Gantian Gus Yunus, Pak Syahid dan laila yang tertawa atas jawaban ini, sedang murid yang lain bengong.
“Ha!” serempak, kembali Heran.
                                                            ***
Makin hari, makin dibenci. Itulah sosok YUNUS di hati YUSUF, lantaran gadis idamanya memilih singgah di hati musuhnya. Yunus.
Hingga suatu ketika, terjadi kejadian yang mengguncang. Surat undangan tiba-tiba ada di ndalem Kyai Masyhuri, “Surat apa itu bah?” tanya bu nyai Latifah kepada suaminya yang sedang membaca surat, “Sepertinya abah kok serius, wonten nopo?” kembali bu nyai bertanya.
“Ada undangan penting dari pondoknya Yunus, abah disuruh kesana.” jawab suaminya.
Dan tak lama kemudian, sebuah amplop juga tiba di ndalem Kyai Salak, kyai ahli suwuk yang mengasuh pondok As Syuhada’ di lereng gunung Rengel. Kiai salak adalah julukan kepada Kiai Safak, lantaran dulu usai undangan ceramah di desa Kedung, kyai Salak pernah dikasih buah salak di berkatnya, dan isi buah salak itu dibuang di arel Rengel, lambat laun, kini rengel di kelilingi pohon salak, hingga kini hampir setiap rumah terdapat pohon salak.
“Bu, surat apa yang ibu baca?” Tanya Kyai salak pada bu nyai Aminah.
“Surat dari pondoknya Yusuf, kayaknya penting.” jawab  bu nyai Aminah.
Ringkas kata, dua kyai mendapat undangan, kyai Masyhuri dan Kyai Salak untuk datang ke pondok Al Munir, karena putranya terkena masalah. Dua kyai ini dipertemukan di ruang sidang, tempatnya di ruang keamanan sebelum para pelaku, saksi, dan barang bukti dibawa ke Pengadilan Negeri daerah setempat. Dua kyai ini seperti tak mengenal wajah yang terbungkus masa, masa 30 tahun yang lalu setelah mereka berpisah, tapi  meski keduanya seperti tak kenal, mereka tetap santai dan ramah dalam tatap muka, dalam sidang itu tak hanya pengurus pondok yang ikut hadir. Polisi dan wartawanpun tampak ada.
“Pak kyai yang terhormat, kami selaku ketua keamanan pondok Al Munir, sangat terpukul atas meninggalnya Laila, santriwati yang sangat cerdas dan taat pada peraturan pondok, dia meninggal lantaran diracun oleh putra sampeyan, Yunus!” ucap ketua sidang.
“Yusuf, adalah saksinya, dan mie ini adalah barang buktinya, dia diracun lewat makanan ini saat sarapan pagi dua hari yang lalu.” sambung ketua sidang.
Kyai Masyhuri terus membantah, “tidak mungkin anakku berbuat demikian,”
“Ya Bah, ini fitnah!, ini adalah akal-akalan Yusuf karena cintanya ditolak oleh almarhumah Laila.” Yunus ikut mengelak
Adu mulut terus membara, penuh emosi.
Jepret kamera wartawan tak henti menyilaukan pandangan Kyai Masyhuri lewat kacamata tebalnya.
Di tengah sidang, tiba-tiba Aang dan Aziz datang, “Kami berdua saksinya.” Dua temannya datang pas pada waktunya, Yunus menghela nafas.
“Benar, dia tidak bersalah,” dan usut-diusut, sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, pasti tercium juga baunya. Begitu juga sepandai-pandainya Yusuf menyembunyikan masalah ini. Memang sebenarnya tidak ada niatan untuk membunuh pujaan hatinya sendiri, pelaku hanya ingin meracun lantaran sering cemburu, karena Laila perhatian dengan musuhnya; Gus Yunus. Tapi malah terjadi episode yang tragis, se-TRAGIS Qobil-Habil memperebutkan wanita.
Ketua sidang langsung membacakan putusan sementara; sebelum ditindak lanjuti di Sidang Pengadilan Negeri, “Bahwa yang bersalah adalah YUSUF bin Kyai Salak alias Kyai Safak.”
Tiba-tiba tubuh Kyai Masyhuripun lemah dan pingsan, usai mendengar nama yang tak asing, ‘YUSUF dan SAFAK’.
Dan sayapun yang membaca ini masih tercenung dan belum bisa mempercayainya, kalau Yusuf, putra Kyai Safak alias Kyai Salak adalah nama pemberian Kyai Masyhuri tempo dulu ketika mereka berdua masih di pondok, sebuah janji persahabatan yang tetap erat dan harmonis yang diidamkan kala itu, meskipun keduanya telah berpisah, malah berakhir tragis oleh ulah anak Kyai Safak yang tergoda oleh nasfu kebengisanya atas wanita idaman, Laila.
Tuhan berkata lain, harapan persahabatan dua teman akrab ini berakhir di episode yang jauh dari keinginannya, ‘MANUSIA HANYA BERENCANA, TUHAN YANG MENENTUKAN’. KETETAPAN TUHAN ADALAH MISTERI, seperti; MIE yang tetap MISTERI.
Suci, 10 Januari 2013



Oleh: Agus Ibrahim Ibnu Syuhada’ Al Masyhari.
Santri PP Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik

Foto : infokepanjen.com