Wednesday 15 August 2012

~Pencuri dalam Salat~




Ulama Faqih, Abu Laits as-Samarkandi bercerita bahwa Salman
al-Farisi menyampaikan sebuah hadits:


"Salat adalah ukuran. Barangsiapa memenuhi ukuran tersebut maka dipenuhilah kebutuhan orang tersebut. Barangsiapa mengurangi ukuran, maka Aku telah mengetahui kamu sekalian."


Yang dimaksud dengan "ukuran" adalah sampai di manakah kekhusyukan kita di dalam salat. Sebab yang dinilai dalam salat adalah kekhusyukannya. Standar salat adalah bila kita melakukan salat semestinya harus khusyuk mulai dari takbir sampai salam.

Hati harus ingat kepada Allah. Untuk mencapai kekhusyukan itu kita harus merenungi makna dari bacaan salat. Jika kita ingat kepada Allah hanya waktu takbir saja, bisa jadi pahala kita hanya pada waktu ingat itu saja. Diriwayatkan dari Imam Hasan al-Basri bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,

"Akan kuberitahukan kepada kalian semua tentang seburuk-buruk manusia. Orang yang paling jelek adalah orang yang mencuri sebagian dari salatnya." Sahabat bertanya, "Dalam keadaan bagaimanakah seseorang disebut mencuri sebagian dari salatnya?" Rasulullah menjawab, "Yaitu orang yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya dalam salat."


Hadits ini memerintahkan kita agar melakukan ruku' dan sujud dengan tumakninah.

Memunculkan kekhusyukan memang berat. Karena itu perlu dilatih, minimal bisa kita tempuh dengan mencoba mengerti dan mengangan-angan makna atau arti bacaan salat. Kalau kita tidak mengetahui makna bacaan dalam salat, maka akan sulit bagi kita untuk khusyuk. Mestinya kita merasa aneh, salat jungkir balik tetapi tidak tahu makna yang kita baca. Tidakkah kita tahu bahwa salat itu adalah bentuk komunikasi hamba dengan Allah.

Bagaimana mungkin kita berkomunikasi dengan Allah tapi kita tidak tahu maksud yang kita bicarakan di hadapan Allah? Sahabat Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
"Barangsiapa yang salatnya ternyata tidak bisa membawanya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, maka salat yang dilakukan itu menambah jauh dari Allah."

Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang yang tidak mampu khusuk dalam salatnya. Ketidakmampuan khusyuk antara lain karena tidak ada usaha sama sekali untuk konsentrasi berkomunikasi dengan Allah, atau sudah berusaha untuk khusyuk tetapi tidak bisa. Ibadah salat memiliki keistimewaan yang luar biasa. Rasulullah mengatakan kepada para sahabat,

"Telah sampai kepadaku bahwa Tuhanmu bangga dengan tiga orang. Siapakah orang itu?

Laki-laki yang berada di tempat asing kemudian mengumandangkan adzan dan mendirikan salat. Lalu ia salat sendirian. Kemudian Allah berfirman:
"Perhatikanlah hai Malaikat-Ku kepada hamba-Ku yang tidak ada yang melihatnya kecuali Aku. Hendaklah turun tujuh ribu malaikat dan hendaklah melakukan salat di belakangnya."


Laki-laki yang mendirikan salat malam kemudian salat dalam keadaan sendirian dan bersujud kepada Allah, kemudian tidur dalam keadaan sujud, Allah berfirman:
"Perhatikanlah olehmu wahai Malaikat terhadap hamba-Ku ini, nyawanya ada pada-Ku dan jasadnya sujud kepada-Ku."


Kemuliaan seorang mukmin apabila ia tidak meminta-minta kepada manusia dan kemuliaan seorang mukmin adalah salat pada tengah malam. Masihkah kita mengidentifikasi diri sebagai seorang pencuri dalam salat? Tidakkah kita merasa Allah sedang menunggu keseriusan kita berkomunikasi dengan-Nya?




(KH. Masduqi Machfudz)

Tuesday 14 August 2012

----JanganTerlalu Bangga Dengan Akal---- Oleh : KH. Masduqi Machfudz




Suatu hari ketika sekelompok orang ribut menghitung hisab awal puasa, apakah dimulai tanggal 23 atau 22 September. Salah seorangnya mereka nyeletuk,
“Duh, kok repot tho? Wong matematika itu katanya ilmu pasti, dengan berbagai cara ternyata tidak mampu memberi kepastian. Ada 43 cara menghitung, semua katanya benar, tetapi hasilnya bolak-balik ndak sama. Mbok ikut melihat bulan aja, jelas kita bisa tahu ada atau tidak. Kalau ndak ada kan dibuat sempurna 30 hari seperti kata hadist, gitu kok repot.”

Ungkapan salah seorang yang nyeletuk tadi memang tidak sepenuhnya benar. Namun kecenderungan orang saat ini mendewakan akal menjadikan banyak orang mengalami kemunduran spiritual dan budi pekerti. Ujung-ujungnya aturan agama menjadi lebih bersifat rutinitas formal bagi seseorang dibanding proses penjiwaan agama. Sampai-sampai ketika orang tidak merasakan perubahan mutu ibadahnya, beberapa orang mengadakan kursus sholat khusyu’ dan mungkin di masa yang akan datang ada kursus dzikir khusyu’, puasa khusyu’ haji khusyu dan lain-lain.

Mestinya kita manusia, harus mulai sadar bahwa tidak semua hal bisa dihitung matematis, atau diproses dengan akal. Terlebih sehebat apapun akal manusia toh dia masih mempunyai kelemahan. Buktinya:
Akal pikiran manusia meskipun cerdas, ternyata tidak dapat mengetahui hakekat kebenaran. Buktinya adalah banyaknya teori kebenaran yang telah dikemukakan oleh para ahli filsafat. Padahal kita tahu bahwa kebenaran yang sejati itu hanyalah satu. Disamping itu, setiap percekcokan, pertengkaran, perkelahian dan peperangan yang terjadi di seluruh dunia ini, sumbernya pastilah karena masing-masing fihak berebut benar.
Akal pikiran manusia meskipun cerdas, ternyata tidak dapat mengetahui hakekat dan letak kebahagiaan hidup. Apa yang dibayangkan oleh seseorang akan membahagiakan hidupnya, ternyata setelah apa yang dibayangkan tersebut tercapai, justeru seringkali mengantarkannya kepada kesengsaraan hidup yang berkepanjangan.
Akal fikiran manusia meskipun cerdas, ternyata tidak mampu menjawab tujuh macam pertanyaan yang diajukan kepadanya, yaitu:
1. Dari mana asal manusia ini sebelum hidup di dunia?
2. Mengapa manusia harus hidup di dunia ini?
3. Siapa gerangan yang menghendaki kehidupan manusia di dunia ini?
4. Untuk apa sebenarnya manusia hidup di dunia ini?
5. Mengapa setelah manusia terlanjur senang hidup di dunia ini dia harus mati, pada hal tidak ada orang yang menginginkan kematian?
6. Siapa sebenarnya yang menghendaki kematian manusia itu?
7. Setelah manusia mati, ruhnya berpisah dengan raganya, kemana ruh manusia itu pergi?
Dari berbagai macam kelemahan akal diatas, masihkah kita mendewakan akal dan mengesampingkan aspek lain yang seharusnya menjadi pengontrol sepak terjang akal? Ataukah kita dan negara kita tetap saja terus dan terus mencetak orang pintar tapi lupa mencetak orang yang benar dan dapat dipercaya.