Thursday 29 December 2011

MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY)

A.     Pengertian Masyarakat Madani
Di Barat sering disebut Civil Society dan sejumlah ahli di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda dengan maksud serupa. Dawam Raharjo merumuskan istilah dan penggagas yang mengacu pada pengertian masyarakat sipil :
Asing
Indonesia
Kolonial Politike
(Aristoteles)
Societas Civilis
(Cicero)
Comonitas Civilis
Comonitas Politica
Societe Civile
(Tocquiville)
Burgerlishe Gesellschaft
(Hegel)
Civil Society
(Adam Ferguson)
Civitas Etat
Masyarakat Sipil
(Mansour Fakih)
Masyarakat Warga
(Soetandyo Wignyosubroto)
Masyarakat Kewargaan
(Frans-Magnis Suseno dan M. Ryas Rasyid)
Masyarakat Madani
(Anwar Ibrahim, Nurcholis Madjid, M. Dawam Rahardjo)
Civil Society (tidak diterjemahkan)
(M. AS. Hikam)

Untuk pertama kali istilah Masyarakat Madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri Malaysia.
Dalam sejarah umat manusia untuk pertama kalinya Masyarakat Madani merupakan hasil usaha Utusan Tuhan untuk akhir zaman, Nabi Muhammad, Rasullullah SAW. Sejarah mencatat sesampainya Nabi di kota hijrah, yaitu kota Yatsrib (Yunani : Yethroba), beliau mengganti nama kota ini menjadi Madinah.
Dengan tindakan itu, Nabi Muhammad SAW telah merintis memberi  teladan kepada umat manusia dalam membangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berperadaban (bermadaniyah), karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan.
Dengan demikian, masyarakat madani pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang tidak mengenal hukum (lawless) Arab Jahiliyah.
Selanjutnya sejarah mencatat dan mengakui bahwa salah satu tindakan Nabi Muhammad SAW untuk mewujudkan masyarakat madani itu ialah dengan menetapkan suatu dokumen perjanjian yang disebut “ Mistaq al-Madinah (Piagam Madinah) yang dikalangan para sarjana Barat juga dikenal sebagai “Konstitusi Madinah” pertama kalinya dalam sejarah umat manusia meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi.
Menurut Anwar Ibrahim sebagaimana yang dikutip Dawam Rahardjo , Masyarakat Madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara individu dengan kestabilan masyarakat.
B.     Ciri-Ciri Masyarakat Madani
Masyarakat madani memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Free public sphere (ruang publik yang bebas)
Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta memublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta memublikasikan informasi kepada publik.
2.      Demokratisasi
Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani.
3.      Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.
4.      Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan.
5.      Keadilan Sosial (Social justice).
Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
6.      Partisipasi sosial.
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi individu terjaga.
7.      Supermasi hukum
Penghargaan terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan, keadilan harus diposisikan secara netral, artinya tidak ada pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.
C.     Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society)
Filsuf yunani Aristoteles (384-322 M) yang memandang masyarakat sipil sebagai suatu sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri, pandangan ini merupakan Fase pertama sejarah wacana civil society, yang berkembang dewasa ini, yakni masyarakat sivil diluar dan penyeimbang lembaga negara, pada masa ini civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society, dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, ia lebih menekankan visi etis pada civil society, dalam kehidupan sosial, pemahaman ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok.
Fase ketiga, berbeda dengan pendahulunya, pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai suatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagain anitesis negara, bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi, menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka, konsep negera yang absah, menurut pemikiran ini adalah perwujudkan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan, pemahaman ini adalah reaksi atau pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara, pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryass Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi Eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh pejuang melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis dengan Tocqueville (1805-1859), bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, ia memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara, menurutnya kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.
D.     Masyarakat Madani di Indonesia : Paradigma dan Praktik
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani) bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan nasional dalam dalam perjuangan merebut kemerdekaan, selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, organisasi berbasis islam, seperti Serikat Islam (SI), Hahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil society yang penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia.Terdapat beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya bangunan masyarakat madani bisa terwujud di Indonesia :
Pertama, pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan bahwa sistem demokrasi tidak munkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Kedua, pandangan reformasi sistem politk demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi, dalam tataran ini, pembangunan institusi politik yang demokratis lebih diutamakan oleh negara dibanding pembangunan ekonomi.
Ketiga, paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi, pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua pandangan yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi, berbeda dengan dua pandangan pertama, pandangan ini lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah.
Bersandar pada tiga paradigma diatas, pengembangan demokrasi dan masyarakat madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut, sebaliknya untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma, setidaknya tiga paradigma ini dapat dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi di masa transisi sekarang melalui cara :
1.      Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik dan ekonomi, dengan pandangan ini, negara harus menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi nasional, tantangan pasar bebas dan demokrasi global mengharuskan negara mengurangi perannya sebagai aktor dominan dalam proses pengembangan masyarakat madani yang tangguh.
2.      Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi, sikap pemerintah untuk tidak mencampuri atau mempengaruhi putusan hukum yang dilakukan oleh lembaga yudikatif merupakan salah satu komponen penting dari pembangunan kemandirian lembaga demokrasi.
3.      Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara keseluruhan. Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan demokrasi yang dilakukan secara terus-menerus melalui keterlibatan semua unsur masyarakat melalu prinsip pendidikan demokratis, yakni pendidikan dari, oleh dan untuk warga negara.
E.     Gerakan Sosial untuk Memperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas ari peran gerakan sosial, gerakan sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari oleh pembagian tiga ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar, dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka terdapat gerakan politik yang berada diranah negara dan gerakan ekonomi. Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney Tarrow yang melihat political parties berkaitan dengan gerakan politk, yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh parti politik melalui pemilu., gerakan ekonomi berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan politik tersebut.
Berdasarkan pemetaan diatas, secara empiris ketigaya dapat saling bersinergi, pada ranah negara dapat menjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan oleh parpol dalam pemilu yang mengusung masalah yang juga didukung oleh gerakan sosial. Sebagai contoh gerakan sosial oleh masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) mempunyai kaitan dengan kelompok atau parpol di ranah politik maupun kelompok bisnis pada sisi yang lain.
F.      Organisasi Non Pemerintah dalam Ranah Masyarakat Madani (Civil Society).
Istilah Organisasi Non Pemerintah adalah terjemahan NGO (Non-Governmental Organization). Yang telah lama dikenal dalam pergaulan internasional, istilah ini merujuk pada organisasi non negera yang mempunyai kaitan dengan organisasi non pemerintah, istilah ini perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas internasional.
Dalam arti umum, pengertian organisasi non pemerintah mencakup semua organisasi masyarakat yang berada diluar struktur dan jalur formal pemerintah, dan tidak dibentuk oleh atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah, karena cakupan pengertiannya yang luas, penggunaan istilah organisasi non pemerintah sering membingungkan dan juga bisa mengaburkan pengertian organisasi atau kelompok masyarakat yang semata-mata bergerak dalam rangka pembangunan sosial-ekonomi masyarakat tingkat bawah, istilah organisasi non pemerintah bagi mereka yang tidak setuju memakai istilah ini berpotensi memunculkan pengertian tidak menguntungkan. Pemerintah khususnya menolak menggunakan istilah itu dengan alasan makna organisasi non pemerintah terkesan “ memperhadapkan “ serta seolah-olah “ oposan pemerintah, pengertian organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya yang bersifat non pemerintah, di dalamnya bisa termasuk serikat kerja, kaum buruh, himpunan para petani atau nelayan, rumah tangga, rukun warga, yayasan sosial, lembaga keagamaan, klub olahraga, perkumpulan mahasiswa, organisasi profesi, partai politik, atau pun asosiasi bisnis swasta.
G.    KESIMPULAN
1.      Masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip-prinsip moral yang menjamin kesimbangan antara kebebasan individu dengan kestabila masyarakat, inisiatif ari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
2.      Perwujudan masyarakat madani ditandai dengan karakteristik masyarakat madani, diantaranya wilayah publik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan dan keadilan sosial.
3.      Strategi membangun masyarakat madani di indonesia dapat dilakukan dengan integrasi nasional dan politik, reformasi sistem politik demokrasi, pendidikan dan penyadaran politik.
4.      Masyarakat sipil ikut berpartisipasi dalam berbagai wadah sosial politik di masyarakat, seperti organisasi keagamaan, organisasi profesi, organisasi komunitas, media dan lembaga pendidikan.
H.     DAFTAR REFERENSI
kosmaext2010.com/makalah-civic-education-masyarakat-madani  akses tgl 03 des 2011
Nata, Abuddin, Prof. Dr. H., M.A.2007. Manajemen Pendidikan. Jakarta : Kencana
Tim ICCE.2006.Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah kerjasama degan Asian Foundation

ASPEK KEMU’JIZATAN AL QUR’AN PRESPEKTIF PARA ULAMA’ & METODE DAKWAH DALAM AL QUR’AN

ASPEK KEMU’JIZATAN AL QUR’AN PRESPEKTIF PARA ULAMA’

Menurut al-Qurtubi, ada sepuluh aspek ke-mu’jizat-an al-Qur’an. Pertama, keindahan komposisi bahasa Arab yang berbeda dengan komposisi sastra manapun. Kedua, gaya bahasa yang unik dan berbeda dengan gaya bahasa Arab biasa. Ketika, memuat konsep-konsep yang tidak mungkin ditiru oleh makhluq-Nya. Keempat, penetapan syari’ah yang sempurna dan melampaui segala hukum ciptaan manusia. Kelima, pemberitaan ghaib yang hanya diketahui oleh wahyu. Keenam, tidak kontradiktif dengan kepastian ilmu-ilmu alam. Ketujuh, pemenuhan janji baik atau buruk yang telah dijanjikan oleh ayat-ayat sebelumnya. Kedelapan, kekayaan yang terkandung dalam ilmu pengetahuan, yaitu berupa ilmu syari’ah atau ilmu alam. Kesembilan, kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dan Kesepuluh, pesona yang dikandung oleh al-Qur’an pada setiap orang yang membaca. Lebih dari itu, al-Zarqani, mencatat ke-mu’jizat-an al-Qur’an sebanyak enam belas.

Sebagian Ulama’, berpendapat bahwa aspek ke-mu’jizat-an al-Qur’an terletak pada kualitas balghoh-nya, yang tidak ada bandingannya. Kelompok ini merupakan para ahli bahasa Arab yang kaya dengan perasaan dan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang lain. Berkeyakinan bahwa aspek ke-mu’jizat-an al-Qur’an, terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal yang ghaib, yang akan datang, atau prediksi masa depan diluar kadar kemampuan manusia.
Semua pendapat diatas, pada dasarnya tidak keluar dari orientasi yang sama, bahwa al-Qur’an adalah bayan (penjelasan, retorika) dan nazam (jelmaan) yang seirama dengan nafas kehidupan manusia dan alam, yang makna-maknanya telah menyingkap tabir hakikat kemanusian dan misinya dialam kosmos ini. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menguraikan sedikit (dengan segala keterbatasan) tentang aspek-aspek tersebut dalam tiga hal ; yaitu aspek bahasa, ilmu pengetahuan, dan pemberitaan ghaib.


A.     Aspek Bahasa
Dari aspek bahasa, al-Qur’an merupakan bahasa bangsa Arab Quraisy yang mengandung unsur sastra yang sangat tinggi mutunya. Ketinggian mutu sastra al-Qur’an ini, meliputi berbagai segi, kaya akan perbendaharaan kata-kata, padat akan makna yang dikandung, penyusunan redaksi yang menakjubkan, keseimbangan-keseimbangan yang sangat serasi antara redaksi yang digunakan, sehingga tidak heran jika kemudian Syeikh Nashif al-Jaazidy, ketika memberikan nasehat kepada anaknya, Ibrahim, mengenai kualitas sastra al-Qur’an ini, berkata “apabila kamu ingin mengatasi teman-teman kamu dibidang kesusastraan dan karang-mengarang, maka hendaklah kamu menghafal al-Qur’an
B.     Aspek Ilmu Pengetahuan
Hakikat ilmiah yang disinggung dalam al-Qur’an, dikemukan dalam redaksi yang singkat dan sarat akan makna. Ketika pengetahuan itu belum ditemukan, al-Qur’an pada dasarnya telah memberikan isyarat tentangnya, dan al-Qur’an sendiri tidaklah mempunyai pretensi pertentangan dengan penemuan-penemuan baru yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian ilmiah. Misalnya, al-Qur’an berbicara mengenai awan. Proses pembentukan hujan dimulai dengan pembentukan awan tebal karena adanya dorongan angin sedikit demi sedikit (perhatikah ayat berikut “tidakkah kamu melihat (bagaimana) Allah menggerakkan awan, kemudian mengumpulkan (bagian-bagian)-nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kamu lihat hujan keluar dari celah-celah (awan). (QS. 24 : 43.). Para ilmuan kemudian menjelaskan bahwa awan tebal bermula dari dorongan angin yang mengiringi ke-awan-awan kecil, menuju ke convergence zone (daerah pusat pertemuan awan). Pergerakan bagian-bagian awan ini, menyebabkan bertambahnya jumlah uap air dalam perjalanannya, terutama pada convergece zone itu.
C.     Aspek Pemberitaan Ghaib
Selain penegasan al-Qur’an terhadap kebenaran ilmiah, al-Qur’an juga meyakinkan kepada pembacanya bahwa al-Qur’an mampu memprediksi masa depan (nubuwah), kejadian-kejadian pada masa Nabi atau Umat terdahulu, dan kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal Nabi.
Al-Qur’an juga berisi tentang pengetahuan yang kemudian baru diketemukan pada ribuan tahun setelah al-Qur’an turun, misalnya kesatuan alam, khasiat madu, dll., yang kesemuanya itu terbukti sampai saat ini. terjadinyaperkawinan dalam tiap-tiap benda, perbedaan sidik jari manusia,


METODE DAKWAH DALAM AL QUR’AN

Dalam al-Qur’an surah Al-Nahl (16): 125 termuat beberapa metode dakwah sebagaimana dapat dibaca dalam firman Allah swt:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari JalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Tiga metode dakwah yang terkandung dalam ayat ini, yaitu : metode al-hikmah, metode al-maw’izhah dan metode mujadalah.

Metode al-hikmah
Kata al-hikmah terulang sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata ini berarti kebijaksanaan, bagusnya pendapat atau pikiran, ilmu, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, pepatah dan juga berarti al-Qur’an al-Karim. Hikmah juga diartikan al-Ilah, seperti dalam kalimat hikmah al-tasyri’ atau ma hikmah zalika dan diartikan juga al-kalam atau ungkapan singkat yang padat isinya.
Makna al-hikmah yang tersebar dalam al-Qur’an di 20 tempat tersebut, secara ringkas, mengandung tiga pengertian. Pertama, al-hikmah dalam arti “penelitian terhadap segala sesuatu secara cermat dan mendalam dengan menggunakan akal dan penalaran”. Kedua, al-hikmah yang bermakna “memahami rahasia-rahasia hukum dan maksud-maksudnya”. Ketiga, al-hikmah yang berarti “kenabian atau nubuwwah”.
Adapun kata al-hikmah dalam ayat ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ menurut al-Maraghi (w. 1945), berarti perkataan yang jelas disertai dalil atau argumen yang dapat memperjelas kebenaran dan menghilangkan keraguan. Sedang Muhammad Abduh (w. 1905) mengartikan al-hikmah sebagai ilmu yang sahih yang mampu membangkitkan kemauan untuk melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat dan kemampuan mengetahui rahasia dan faedah setiap sesuatu. Dalam Tafsir Departemen Agama disebutkan bahwa al-hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil.

Metode al-Maw’izah al-hasanah
Metode dakwah kedua yang terkandung dalam QS. Al-Nahl (16) ayat 125 adalah metode al-maw’izat al-hasanah. Maw’izat dari kata وعظ yang berarti nasehat. Juga berarti menasehati dan mengingatkan akibat suatu perbuatan, menyuruh untuk mentaati dan memberi wasiat agar taat. Kata maw’izat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Kata ini berarti nasehat yang memiliki ciri khusus, karena mengandung al-haq (kebenaran), dan keterpaduan antara akidah dan akhlaq serta mengandung nilai-nilai keuniversalan. Kata al-hasanah lawan dari sayyi’ah, maka dapat dipahami bahwa maw’izah dapat berupa kebaikan dan dapat juga berupa keburukan.


Metode al-Mujàdalah
Al-Mujàdalah terambil dari kata جدل, yang bermakna diskusi atau perdebatan. Kata jadal (diskusi) terulang sebanyak 29 kali dengan berbagai bentuknya di beberapa tempat dalam al-Qur’an.
Dari kata-kata itu, yang menunjuk kepada arti diskusi mempunyai tiga obyek, yaitu: membantah karena: (1) menyembunyikan kebenaran, (2) mempunyai ilmu atau ahli kitab, (3) kepentingan pribadi di dunia. Dari berbagai macam obyek dakwah dalam berdiskusi tersebut, akan dititikberatkan pada obyek yang mempunyai ilmu. Berdiskusi dengan obyek semacam ini membutuhkan pemikiran yang tinggi dan wawasan keilmuan yang cukup. Sebab, al-Qur’an menyuruh manusia dengan istilah ahsan (dengan cara yang terbaik). Jidal disampaikan dengan ahsan (yang terbaik) menandakan jidal mempunyai tiga macam bentuk, ada yang baik, yang terbaik dan yang buruk.
Al-Maraghi mengartikan kalimat ‘wa jadilhum bi allatiy hiya ahsan’ dengan berdialog dan berdiskusi agar mereka patuh dan tunduk. Sedangkan Sayyid Qutb mengartikannya dengan: ‘berdialog dan berdiskusi bukan untuk mencari kemenangan, akan tetapi agar patuh dan tunduk terhadap agama untuk mencapai kebenaran.

www.abdain.com
http://hanafie.page.tl/I-h-jaz-al_Qur-h-an